DWI WARNA
Ini adalah cerita dari film pendek dengan judul sama. Film pendeknya diperuntukkan buat lomba Civic Competition 2020, lumayan lah dapet Juara 3.
Ceritanya tentang seorang siswa menabung untuk membeli sepatu yang diidamkan tetapi suatu hal membuat dia mengurungkan niatnya.
Tokoh utamanya diperanin oleh diri gue sendiri. Nih, yang mau nonton https://www.youtube.com/watch?v=UvPKmHfblmw
DWI WARNA
Seperti biasa, pagi ini aku memakai
seragam dengan tatapan kosong menghadap cermin membayangkan kembali hinaan
teman-teman akan sepatuku yang telah bolong. Tak terhitung berapa kali mereka mencelaku seperti itu.
Sepatu ini memang sudah tidak layak pakai. Kakiku selalu basah ketika menginjak
genangan di musim hujan. Terakhir kali aku ke toko sepatu ketika kelas satu SMP
dan aku sekarang kelas tiga SMA.
Ayahku selalu menekankan jika sepatu
jangan diganti sebelum benar-benar rusak. Sepatu ini bolong dibagian solnya,
tapi tak kunjung aku dibelikan yang baru. Maka dari itu aku memutuskan unutuk
menabung dengan uang jajanku yang hanya cukup untuk membeli tiga gorengan saja.
Setiap hari, tidak akan terlewat uang
jajan ku simpan di celengan dari kaleng susu kental manis yang ku tulis ‘Sepatu
Baru’ di sekelilingnya. Aku harus terus bersabar dan berusaha. Sempat berniat
mencari pekerjaan untuk menambah penghasilan, namun aku tahu ayah tidak akan
berkenan.
Kubawa sepatu sampah itu, kuletakan di tempat pintu. Pandanganku terus ke bawah. Tanpa kusadari, ayahku mencuri pandang menuju sepatu bolongku ketika beliau tengah menyapu. Aku sangat mengerti bagaimana situasi ekonomi keluarga kami. Menetap di rumah kumuh peninggalan kakek dan pekerjaan ayahku adalah buruh harian yang tidak seberapa.
Ayahku memang orang yang jarang tersenyum, terbilang misterius. Dulu beliau adalah orang yang periang tidak akan membiarkan kami saling diam untuk sementara. Kini berubah semenjak ibu meninggal.
Jari-jemari kaki yang setiap hari aku tekuk berjalan menyusuri daerah pertokoan menuju sekolah. Entah sudah berapa kali aku memandangi sepatu ini, sepertinya akan merah seperti kemarin-kemarin.
Aku tak sadar telah berhenti di sebuah toko sepatu. Cukup lama mulutku menganga melihat sepatu bagus yang terpampang jelas di etalase. Ketika aku sibuk menggerakan mataku kesana kemari. Di sana tertulis sale 100rb/pcs. Betapa bahagianya aku melihat itu. Sepertinya celenganku akan cukup. Sepatu hitam manapun akan ku beli.
Jam dinding di dalam toko kulihat sudah menunjukan pukul 07.00, “Gawat! Aku terlambat!”, gumamku dalam hati. Bergegas aku meninggalkan tempat itu. Harus kupaksakan kaki berlari walau sangat sakit ketika bagian yang bolong sesekali bergesekan dengan tanah dan kerikil.
Sepertinya ini pertama kali aku terlambat dan juga ini pertama kalinya aku berlari memakai sepatu yang sudah bukan ukuranku lagi. Beruntungnya pintu gerbang belum ditutup. Walaupun kaki tersandung pagar yang hampir ditutup rapat, yang penting aku selamat.
Lingkungan sekolah sudah sepi tanda jam belajar sudah lama dimulai. Menetes keringatku dari dagu jatuh ke lantai. Sudah 2 menit aku memegang dengkul kakiku. Memang pagi yang sangat tercampur aduk, bahagia karena ada diskon sepatu tadi dan kesal karena sakit berlari. Ditambah udara pasir yang gersang dan bangunan tua yang telah usang membuatku tidak betah berada di sekolah.
Di tengah kekesalan, pandanganku mengarah kepada bendera merah putih yang sudah sobek dan kotor. Entah kenapa muncul rasa empati melihat itu dan kenapa sekolah masih belum menggantinya juga. Sejak awal aku ke sini bendera merah putih sudah seperti itu.
Seperti yang aku ketahui bendera Negara kita tercinta sudah sepantasnya tidak begitu, hal ini membawaku harus melakukan sesuatu terhadapnya. Aku mencoba mengingat kembali jika tujuanku adalah sepatu baru, bukan bendera sekolah. Hal yang penting adalah kakiku setiap hari terluka akibat sepatu yang sudah lama tidak diganti. Impian untuk membeli sepatu baru sudah di depan mata, tapi kenapa hatiku mengatakan benderalah yang lebih penting.
Bendera tidak akan mengubah apapun. Mimpiku tidak akan tercapai. Untuk apa memiliki benda yang bisa dinikmati bersama. Hidupku di sekolah ini sudah cukup menderita. Ditambah sepatu lama, membuat kakiku terluka. Bendera ini tidak akan mengubah apa-apa. Suara-suara berkecamuk dalam hatiku.
Sampai akhirnya aku sadar mengapa bendera lebih penting. Ibuku pernah mengatakan “Jangan tanyakan apa yang mereka berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kau berikan kepada mereka”. Memang benar kakiku terluka, tetapi aku tidak mau negaraku ini juga terluka.
Keputusanku sudah bulat. Esoknya, sepulang sekolah aku berangkat ke toko bendera dengan membawa celengan sepatu baruku. Sebelumnya, sudah dihitung berapa jumlahnya. Sepertinya cukup. Walaupun aku tidak tahu harganya berapa. Namun aku tetap percaya diri pergi kesana.
Langit biru berubah abu-abu. Awan-awan bergerak terarah. Angin berhembus kencang. Sungguh cuaca yang buruk, dan aku sudah terlanjur pergi. Semoga saja hari belum menurunkan airnya.
Sebuah toko bendera terlihat jelas di seberang sana. Gemuruh terdengar begitu keras. Perasaanku kacau, bagaimana aku bisa membawa bendera ini tetap kering.
Penjual berkacak pinggang dengan tatapan seperti orang bingung. Dia bertanya, mengapa aku membawa celengan bertuliskan Sepatu Baru, sedangkan aku pergi ke toko bendera. Jawabanku cukup sederhana “Ada yang lebih menderita” kataku. Penjual hanya tersenyum, walaupun aku tahu dia tidak mengerti apa yang ku katakan.
Uang sudah diterima, dengan ini aku tidak perlu mencemaskan lagi orang-orang yang mengeluh karena benderanya sobek. Aku juga tidak perlu mengeluh karena ejekan teman-temanku, biarkanlah mereka mengejeku, asalkan jangan Negara mereka.
Dengan ini mudah-mudahan tidak ada alasan lagi tidak mau upacara. Kecemasanku ada di situasi saat ini. Air menetes sangat cepat, angin bertiup sangat kencang. Bagaimana aku bisa pulang? Bendera ini tidak boleh basah sedikit pun.
Menunggu memang hal yang menyebalkan, tapi apa boleh buat. Trotoar depan toko menjadi pilihan untuk diduduki. Syukurlah, kresek ini tidak membasahinya. Sudah satu jam aku duduk, berdiri sejenak untuk meregangkan badanku. Kemudian duduk kembali.
Waktu menunjukan pukul 17.30 di tambah Bunyi perut yang terus terdengar. Hujan sudah menjadi rintik-rintik. Perjalanan ke rumah masih sekitar satu kilometer lagi. Uangku juga sudah habis, tapi senyum ku masih lebar dengan bendera yang sedang ku pegang ini. Setengah jam berlalu, bendera masih kupeluk. Langit berubah oranye. Pintu rumah sudah terlihat.
Ayahku mungkin sedang tidur atau masak untuk makan malam. Ucapan salam dari bibir keringku sangat berat untuk keluar. Tunggu, ada yang aneh. Tak biasanya ayahku menyuruhku untuk makan, biasanya aku bergegas tanpa disuruh.
Tudung saji memang tidak tercium adanya makanan. Pikiran bingung apa yang akan terjadi selanjutnya dan mencoba untuk memahami situasi.
Duduk bertatap langsung dengannya. Berusaha meraihnya dengan tidak teregesa-gesa. Sedikit lagi usahaku untuk mengangkat itu. Tudung saji perlahan kusimpan dekat kakiku. Mataku yang masih tertutup perlahan terbuka. Terdiam tak berkata. Sepasang sepatu hitam tergeletak rapih disitu. Rasanya lega dicampur dengan bingung. Bagaimana bisa? Tidak membuatku berpikir lagi, aku langsung memeluk ayahku mengucapkan banyak terima kasih kepadanya.
Ternyata Ayah telah lama menyadari sepatuku yang rusak. Setiap hari, sebelum berangkat kerja, dia masuk kamar untuk membersihkan. Celenganku sudah lama tergeletak di lemari. Dia bangga aku konsisten dalam menabung. Namun, segala keperluan sekolah adalah tanggung jawabnya.
Maka dari itu, ayahku harus bekerja lebih untuk menggantikan, jika aku telah membelinya terlebih dahulu. Inilah yang terjadi. Ayahku terkejut, uang hasil jerih payah, aku belikan bendera merah putih yang telah rusak untuk sekolahku. Begitu terharu beliau mendengar ceritaku yang selalu diejek karena sepatuku yang bolong namun, aku tidak mempedulikannya dan dibalas dengan berbuat kebaikan. Pelukan hangat darinya membuat hari yang sebelumnya terlalu gelap, perlahan berubah menjadi berwarna.
Komentar