OLIVIA




Ini cerita fiktif, tapi rasanya personal.

Tiga setengah tahun telah berlalu semenjak sahabat gue Olivia meninggalkan gue tanpa ada alasan yang jelas, semenjak kita memutuskan untuk terus sama-sama. Meninggalkan kebiasaan kami mampir ke sebuah minimarket untuk membeli 2 buah es krim dan menceritakan tentang hari ini.

Di hari pertama kelas 2 SMP, gue tidak punya teman. Cowo pesimis, kurus, rambut berponi, dengerinnya lagu metal, sepatu Compass High, followers instagram cuma ada 20 orang, 2 diantaranya adalah akun gue yang lupa password, cupu Abis. 

Bagi gue, beradaptasi dengan orang baru terasa sangat menyebalkan. Mendingan kembali bergabung dengan geng gue sewaktu kelas 1, namun, aturan sekolah yang mengharuskan setiap naik satu tingkat seluruh kelas diacak. Membuat kami terpisah-pisah.

Suatu waktu jam pelajaran matematika kosong. Guru matematika yang harusnya mengajar di kelas kami sedang ada keperluan pergi keluar kota, kata ibu piket yang memberitahu kami di depan pintu. Akibatnya, murid–muridnya berkumpul dengan circle nya masing-masing. Waktu kosong gue pakai dengan membaca komik di sebuah website.

Berkumpulnya mereka terbagi menjadi 4 kelompok, cewe populer yang isinya cewe-cewe cantik, adiktif main sosial media, cowo populer yang isinya cowo-cowo keren jago futsal idola wanita, lalu cewe-cewe super power, kemampuan mereka dalam pelajaran mampu dikuasai. Ranking 1-5 dikelas sebelumnya rata-rata ada di kelompok mereka. Terakhir, circle cowo-cowo culun gak terlalu akrab, jarang dapet pacar. Kerjaanya kalo gak baca buku atau gak tidur, gue kebetulan ada disitu.

Gue memperhatikan dari belakang yang kebetulan bangku gue saat itu berada di jajaran belakang, lumayan bisa sambil ngemil dan nyolong buat tidur siang tanpa ketauan, semoga. 

Anyway, kelas memang terasa hening, gak kaya jam kosong pada umumnya. Terjadilah inisiatif dari salah seorang cewek yang tergabung dalam kelompok cewek populer untuk melakukan selfie bareng-bareng. Semua orang mendadak rusuh untuk berdiri didepan kamera. Gue yang bingung untuk berdiri di mana akhirnya gue putuskan di posisi belakang di samping cewek yang mengusulkan foto bareng ini, namanya Olivia Oktaviasari. Cewe dengan rambut ponytail, ketika rambutnya digerai iketan rambutnya suka dia simpan di pergelangan tangan kiri, pake kacamata kalo lagi belajar doang, handphonenya Iphone 13 Pro Max. Gila, jago banget gue merhatiin orang.

Senyum yang kaku dan terlihat dipaksakan untuk selfie bersama sukses terlaksanakan. Kesempatan untuk kenalan sama teman baru jatuh kepada Olivia. Gak ada alesan khusus, emang kebetulan aja. Dia sibuk melihat foto-foto dan gue bilang sama dia ‘Olivia, foto tadi boleh dikirim gak?’

Dia bilang ‘eh Danang ya? Boleh, gue kirim ke grup kelas aja ya’

‘Rama, bukan Danang’ jawab gue gondok.

‘Ohhhh Rama, haha.’

Setidaknya dia sudah pernah mengobrol dengan gue walaupun salah di nama aja. 

Cuaca ketika pulang sekolah memang selalu panas, gue sering mampir ke sebuah minimarket untuk membeli satu buah es krim vanila. Tanpa gue sadari, saat tangan gue berhasil membuka pintu mengarah keluar, dari kaca bening persis dengan foto Raffi Ahmad mengenakan seragam dari minimarket tersebut, gue bisa lihat Olivia sedang duduk memakan satu buah es krim juga dengan rasa yang berbeda sambil sesekali melihat handphone nya.   

Mengumpulkan keberanian buat menghampiri dia. Pura-pura gue gak sadar kalo dia ada disana dari tadi, padahal gue dah ngeliatin dia terus.

‘Eh Olivia, disini juga, lagi ngapain?’

‘Aduh lupa nama lo siapa, Fajar bukan sih?’

‘Rama’ kata gue gondok lagi.

‘Ohh iyaaa, Rama, yang tadi dikelas minta foto kan’

‘Iya bener.’

Memang sulit berkomunikasi dengan cowok yang tidak populer.

‘Gue lagi makan es krim aja sih sambil nunggu jemputan, kalo lu?’ tanya Olivia.

‘Gue emang sering kesini, beli es krim vanila’ jawab gue.

‘Lu suka vanila, kalo gue stroberi’

‘Ohhh stroberi, enak ya?’

‘Iyaa’

Ada keheningan sejenak di antara kami. Gue memperhatikan es krim stroberi itu menembus tisu yang menutupinya dan menetes ke pergelangan tangannya. Gak lama gue memutuskan untuk pergi, ‘Yaudah Olivia, gue pulang dulu ya.’

‘Eh nanti aja, temenin gue sampai supir gue dateng’

Tanpa pikir panjang gue duduk di depan dia. Ini kedua kalinya kami berdekatan. Olivia mulai akrab sama gue, dia bercerita kalo dia adalah siswa pindahan dari kota lain, pindah kesini karena orang tuanya. Di sekolah lamanya, dia cukup sering untuk jadi model produk dari brand-brand Indonesia. Gak heran followersnya 21k, keren abis. Sedangkan gue pernah jadi narapidana di tugas film pendek Bahasa Inggris Abang gue, suram abis. 

Setelah 15 menitan, terdengar bunyi klakson mobil Honda Jazz warna putih parkir di minimarket. Jemputannya sudah datang.

‘Ram, gue pulang dulu ya’

‘Olivia, besok makan es krim bareng gue mau ga?

‘boleh, dadah..’

‘dadah’

Semenjak itu, kami sering pergi berdua, baik untuk makan es krim atau sekedar mampir di minimarket untuk mengobrol berdua. Tempat kami mengerjakan PR yang biasanya di rumah seketika berubah menjadi minimarket. Bahkan di kelas, kita disangka seperti pasangan, walaupun mereka tidak senang seperti apa tampang cowoknya.

Masuk tahun terakhir, peraturan sekolah mengumumkan bahwa kelas tahun ajaran baru tidak perlu dipisah. Membuat gue bisa dekat terus dengan dia. Tahun terakhir SMP cukup berkesan buat gue, berkat dia. Semoga dia juga, Aamiinn.

Dari ujung lorong kelas, sudah ada Olivia yang menunggu gue. Tahun terakhir kami mampir ke minimarket, tempat biasa kami membeli es krim vanila dan stroberi. Sesekali kami pergi bareng buat nonton, makan, bahkan main ice skating. Gak kelewat satu hari pun notifikasi dari dia setiap jam 5 pagi padahal gue gak minta dan alarm gue aja di set 06.30.

Kami membuat janji, pada salah satu Try Out setiap minggunya kami bersaing siapa yang dapet nilai lebih besar. Berkat itu, gue jadi belajar lebih giat dari sebelumnya. Jika dalam skala 1-10 tingkat belajar gue sebelum kenal Olivia ada di angka 4. Maka, setelah kenal Olivia tingkat belajar gue meningkat menjadi angka 4,2. Yang penting kan naik.

Hasilnya juga gak suram-suram amat, kayanya. Gue berhasil menang tipis ngalahin dia di Bahasa Inggris dengan skor 86-80. Sisanya kalah. Indonesia 89-97, IPA 60-90, Matematika 44-82. Dompet gue sukses kering kerontang buat jajanin dia es krim seminggu.

Setelah Ujian Nasional kami lewati, kami mengambil topik bagaimana rencana kedepan kami masing-masing. Gue memperhatikan kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Olivia, sesekali gue mengangguk-angguk tanda gue memperhatikan apa yang dia katakan. Kami menginginkan SMA yang berbeda walaupun di daerah yang sama

Lalu ada keheningan sebentar, Olivia memasang muka serius

‘Ram, kita bakal terus sama-sama kan?’

‘Semoga’

‘Gue bakal terus ngomel-ngomel tiap hari, ngingetin lu, bakal cerewet banget deh gue’   

‘Iya lip iyaa’

‘Gue tuh sayang sama lu’

‘Iyaa, gue juga’   

Tak lama kemudian, seperti biasa supirnya datang untuk menjemput Olivia. Setelah saling mengucapkan kalimat sampai jumpa, Olivia beranjak berjalan menuju mobil dan gue melihat punggungnya perlahan menjauh. Dia sempat membalikkan badannya, senyumnya gak akan ilang dari kepala gue.

Sewaktu SMA, kami semakin sering berkomunikasi, tiada hari bagi kami tidak mengucapkan selamat malam. Olivia sering menceritakan betapa bahagianya dia mendapatkan teman baru, betapa kesalnya dia karena jam pulang sekolah selalu telat, betapa seringnya dia bilang sayang ke gue.

Berbeda dengan gue, waktu SMA lebih banyak gue habiskan untuk kegiatan ekstrakurikuler photography. Seperti biasa, gue sulit beradaptasi dengan orang baru. Gak lupa juga gue untuk memberitahu kehidupan di SMA.

Masih banyak yang mengira bahwa kami ini masih menjadi pasangan.

Namun, hari terus berlanjut, notifikasi dari Olivia semakin jarang gue lihat, sesuatu yang mewah untuk gue bisa mengobrol dengan dia, entah mana yang benar, gue yang terlalu banyak waktu atau dia yang semakin sibuk dengan dunia barunya. Waktu kami ketemu semakin berkurang, chat gue juga semakin singkat dibalas, telepon gue tidak diangkat. Perlahan-lahan jarak di antara kami mulai menjauh dan sekarang menghilang. Gue ingin mengatakan sepertinya Olivia telah menemukan orang yang baru disana. Entah gimana gue jelaskan rasa yang semakin tumbuh tiba-tiba jatuh dan tidak ada yang peduli.

Mencoba menerima apa yang sedang terjadi, ketika orang yang sering kita ucapkan selamat pagi, lalu dibalas hal yang sama, menjadi ucapan selamat pagi, lalu berujung centang biru saja.

Kata “bersama-sama” mungkin hanyalah bualan anak SMP yang baru mengenal apa itu menyayangi dan disayangi. Gue mulai percaya bahwa seseorang yang kita kenal, katakanlah pasangan atau teman, mereka seperti bom waktu, lama-kelamaan waktunya akan berkurang dan meledak menghilang. Jika suatu saat nanti akan meledak, lebih baik gue tidak memiliki bom waktu sama sekali. Waktu yang selama ini kita habiskan bersama, kini menjadi kenangan yang sia-sia. Olivia telah menjadi, orang yang berbeda.

Waktu bergerak maju. Gue lulus SMA. Tidak ada kejelasan bagaimana hubungan kami. Tiga setengah tahun berlalu, chat gue masih sama dengan yang gue kirim waktu itu, centang biru. Tiga setengah tahun kami gak ke minimarket dan tiga setengah tahun es krim vanila yang biasa gue beli perlahan-lahan rasanya semakin hambar.

Atas apa yang telah terjadi, gue cuma bisa bilang, gue pengen makan es krim bareng dia lagi.

Suatu sore dan liburan semester sebentar lagi, gue baru saja beres dari kegiatan hunting photo di kampus. Notifikasi handphone berbunyi, terdapat satu pesan yang masuk, gue tidak berharap itu dari siapa-siapa. Notifikasi itu dari salah satu orang yang gue kenal di SMP, Ardian, cowo rambut keriting kecoklatan, tergabung di kategori populer, jago main futsal, berangkat sekolah udah berani bawa motor sendiri. Dia meminta gue untuk mendesain poster untuk acara kuliahnya. Tempat yang dia pilih untuk ketemuan adalah SMP. Entah berapa banyak tempat yang nyaman disini untuk ketemuan. Ardian bilang, dia sedang di daerah sana, sekalian nostalgia.

SMP terlihat sangat berbeda dengan apa yang terlihat tiga setengah tahun lalu. Tembok yang dominan biru telah diganti menjadi magenta, masjid yang dulu di belakang telah pindah ke dekat pagar sekolah. Ruang komputer yang hanya tiga sekarang bertambah satu. Kamar mandi yang awalnya bau pesing banget menjadi bau pesing aja.

Dia mengenakan kaus Deus ex Machina warna hitam, memakai kalung dog tag silver. Gue dan Ardian duduk di sebuah kursi, lengkap dengan mejanya di depan ruangan komputer berdekatan dengan lapangan basket. Gue baru ingat saat itu setelah Try Out Matematika, kami duduk di kursi ini sembari menghabiskan es krim yang telah gue belikan. Olivia bergegas mengeluarkan tisu karena es krim yang semakin meleleh dan mengeluarkan pulpen serta kertas coretannya. Gue memperhatikan apa yang akan dia lakukan. Pulpen yang telah dibuka tutupnya mengarah ke meja dan lengan kirinya menutupi itu, seakan gue gaboleh lihat apa yang mau dia tulis. Tidak berlangsung lama dia membuka lengan kirinya, mengambil tutup pulpen lalu memasukannya kembali, dan menghela nafasnya. Terlihat jelas apa yang dia tulis di atas meja berwarna biru itu “RAM & OLI 100% COCOK” ditambah dengan simbol bunga dua biji. Gue tertawa atas kelakuannya ini.

‘Kenapa Oli dah? Hahaha’ Tanya gue.

‘Biar gada yang tau kalo itu gue’

Gue diem sebentar.

‘Iya deh’

Kini bangku itu telah di cat ulang dan gak kelihatan lagi tinta yang telah dia tulis.

Kami bertegur sapa dan saling menanyakan kabar masing-masing. Ardian ini satu kampus dengan gue dan satu SMA dengan Olivia. Setelah kami berdiskusi panjang tentang konsep desain yang dia inginkan, gue bilang ‘Olivia sekarang di mana?’

‘Dia sekarang kuliah di luar negeri, dapet beasiswa gitu, katanya.’

‘Oh gitu’

‘Kenapa lu? Kangen ya, haha’

‘Haha, apaan sih, kaga lah'

‘Haha yaudah, gue cabut duluan ya, nanti kirim email aja ke gue kalo dah jadi’

‘Oke oke’

Ardian beranjak dari kursinya, mengambil kunci yang dia letakan di atas meja seraya pergi menuju parkiran. Suara knalpot mobil sedan warna hitam yang sudah di modifikasi, menguasai indera pendengaran gue untuk beberapa saat, suaranya perlahan menghilang dan sekarang hening.

Rasanya gue belum ingin pulang. Akhirnya, gue memutuskan untuk mengelilingi sekolah, melihat-lihat apa yang sudah berubah. Ruangan waktu gue kelas 2 yang berada di ujung lorong, telah berubah menjadi ruangan kelas 1.

Gue ingat bagaimana rasanya waktu kami sekelas selfie bersama dan samping gue adalah Olivia. Sempat gue melirik muka dia sesaat sebelum hitungan mundur dari kamera handphone nya. Dibawah telinganya ada tai lalat kecil disana. Senyumanya dari arah samping lengkap dengan pipi tirusnya. Olivia itu udah cantik populer lagi kan, gue gak mungkin bisa kenal sama dia.

Gue ingat, bagaimana Olivia sering gue pinjam catatannya kalau gue lupa buat PR, buku-bukunya cukup tebal dengan cover motif bunga dan tertera nama Olivia kelas VIII B. Begitu pula dengan dia, yang selalu gue bantu, ketika dia kesulitan mengerjakan PR Bahasa Inggris atau Seni Budaya.

Gue ingat, bagaimana kami saling menyukai saat itu, namun, jika kami beranjak ke tempat yang lebih jauh, apakah rasanya akan sama? Tidak ada yang tahu. Kami sangat menikmati bagaimana hubungan kami yang berlangsung kurang lebih dua tahun.

Gue sudah tidak ingat, bagaimana dia pergi.

Langit biru perlahan berubah menjadi oranye, suasana nostalgia semakin mendukung gue untuk ke minimarket, setelah mengeluarkan motor dari parkiran dan berpamitan pada satpam, gue pergi kesana.

Minimarket terasa sepi namun masih sama seperti dulu, kursinya yang tidak cukup enak untuk diduduki, mbak kasir yang tidak cukup ramah, dan tukang parkir yang tidak cukup sekali untuk bilang “mundur…”

Namun, tempat inilah yang menjadi saksi bisu bagaimana kami bisa begitu dekat, bisa begitu menyayangi, bisa begitu melupakan.

Gue mengambil satu buah es krim stroberi yang belum pernah gue cicipi seumur hidup. Rasa dingin dan stroberinya membuat rasa es krim ini mengingatkan gue bahwa pernah ada cerita di setiap tetesannya. Bagaimana kami mengerjakan tugas bareng, menunggu jemputan dia, atau sekedar saling menertawakan kelakuan-kelakuan netizen di instagram. Namun, es krim ini yang seharusnya manis mengapa rasanya begitu pahit.

Di antara keheningan yang terjadi, gue sadar ada orang yang menghampiri  

‘Rama?’

Gue membalikkan badan merasa seperti ada yang memanggil gue. Cewek dengan short dress hitam menggenggam satu buah es krim warna putih dengan kedua tangannya, memakai kacamata, dan memiliki rambut sepanjang bahu yang dicat pirang.

‘Siapa ya?’ Gue bengong mencari-cari wajah itu siapa di kepala gue.

‘Ini aku, Olivia’ jawab dia.

Senyumnya buat gue ingat.

JEGERRRR… Hampir empat tahun gue mencoba melupakan dia. Nomernya gue hapus, media sosial gue unfollow, foto rumahnya gue taruh di shopee. Tapi, hanya dengan senyumnya, move on gue gagal total.

Gue mencoba tetap tenang agar perasaan gue tidak muncul ke permukaan. Menyembunyikan rasa yang hampir empat tahun gua tahan. Gue menghela napas sebentar, seakan pengen teriak ‘LU KEMANA AJA BANGSAT!!!… GUE KANGEN!!!…’ 

Gue pun berdiri dan memberikan tangan gue untuk bersalaman, dia menyanggupinya.

‘Hi, kamu baik?’ Tanya gue.

‘Baik, kamu gimana?

‘Baik’

‘Aku denger kamu ambil DKV ya?’

‘Iyaa, aku denger juga, kamu kuliah di luar negeri sekarang’

‘Aku baru aja balik, kamu sendirian aja?’

‘Iya, hehe’ gue tertawa kecil. ‘Sekalian aja mampir beli es krim stroberi, kesukaan kamu.’

‘Iya ya, aku juga pengen nyobain rasa vanila nih kesukaan kamu’

‘Kamu sendirian?’ Tanya gue.

‘Enggak kok’ Olivia menunjuk ke sebuah mobil warna hitam di ujung jalan, ‘aku sama Ardian’

Gue menengok ke arah mobil itu. Tanpa gue sadari, Ardian yang baru saja ketemu sama gue tadi, sekarang ketemu lagi. Gue baru mengerti alasan dia pergi adalah untuk menjemput Olivia yang baru aja pulang dari luar negeri. 

‘Lah, kamu sama Ardian hahaha, aku tadi kan ketemuan sama dia di SMP hahaha, dia minta aku buat bikinin poster gitu hahaha’ gue mulai meracau.

‘Sumpah..??? tadi dia ketemu sama kamu???’ Tanya Olivia. Belum sempat gue jawab, Olivia membalikan badan, mengarah ke mobil Ardian ‘Sayang… kamu kok ga ngasih tau aku kalo ketemu sama Rama’

Tidak ada jawaban dari Ardian.

Mendengar itu langsung, satu hal yang gue pahami, Olivia itu sama Ardian. Pada akhirnya pikiran gue mengambil kesimpulan bahwa kami berada di SMA yang berbeda, kami tidak ada di tempat yang sama. Ardian satu SMA dengan Olivia, dia ada untuknya. Mungkin.

Gue masih tetap berusaha tetap tenang, Olivia menghampiri mobilnya, Sepertinya Ardian tidak ingin berada di dekat gue untuk saat ini dan sepertinya juga Ardian kaget kalau gue ada disini, dan ini adalah tempat yang gue dan Olivia sering datangi pada saat itu. Sementara gue masih sibuk dengan pikiran gue sendiri, tanpa gue sadari es krim stroberi gue sudah cair.

Olivia kembali menghampiri gue, setelah dia mengobrol dengan Ardian melalui jendela mobil.

‘Olivia, kamu udah berapa lama sama Ardian?’ Tanya gue.

‘Tiga setengah tahun’

Selama itu gue menunggu kabar dari lu dan selama itu juga lu udah sama si kampret.

Olivia berpamitan pulang, kami bersalaman. Ardian tidak mengucapkan satu patah kata pun ke gue.

Hubungan gue dan Olivia selama SMP sangat membekas, dalam juga luka yang diterima. Itulah kenapa gue gak bisa lupa dari dia. Gue enggak bisa bohong sama perasaan gue sendiri. Jujur, gue pengin sama dia, selama tiga setengah tahun ini.

Matahari bergegas kembali ke tempat asalnya, Es krim stroberi diatas meja sudah lama mencair. Gue masih bermain dengan pikiran gue sendiri. Minimarket adalah saksi bisu tempat gue bertemu dengan Olivia, tapi sekarang, ini akan menjadi tempat yang akan gue hindari.

Untuk es krim stroberi, maaf, gue lebih suka Vanila.     

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Bakoy mengatakan…
Ardian !! Kampret lu !!
Lu gatau bapaknya jack chan ?
Ram Farissy mengatakan…
Bakoy thankyou udah baca wkwk. Ini cerita fiktif btw. Tapi rasanya personal bagi gw

Postingan populer dari blog ini

SEBELUM TIDUR

SERBA - SERBI MENJADI ORANG YANG MEMBOSANKAN

a letter for your dad