PINDAH
Pertengahan 2011 keluarga gue memutuskan buat pindah rumah ke kampung halaman. Kenapa kita harus pindah kalau kita sudah menemukan tempat yang nyaman untuk tinggal selamanya? bukannya merepotkan untuk mengenal dengan orang yang belum tentu cocok dengan kita.
Gue Rama. Jujur, kalo sudah suka sama sesuatu dan suka akan hal itu sulit buat menemukan yang baru. Gue seneng waktu menjalani hidup di Bekasi bareng teman – teman gue yang aneh bin ajaib.
Sahabat gue di Sekolah Dasar. Tengku, bersiap melakukan tendangan ditengah lapangan sebagai tanda permainan bola futsal akan dimulai. Seperti biasa, gue agak ganggu dengan kutil yang nempel di bawah kanan hidungnya. Membuat gue tidak fokus bermain. Pengin mengambil sebuah pinset dan mencabutnya. Itu yang kocak dari dirinya selain rambut keriting kemerah – merahan, keseringan main dibawah sinar matahari, keliatan kaya kambing setengah bule dengan kutil di hidung.
Tidak akan berhenti bagi kami semua murid kelas A dan B untuk bermain bola plastik di lapangan sekolah yang permukaan tanahnya tidak rata. Sekalinya jatuh, rasa sakit nya ada 2, sakit karena jatuh kesandung batu dan rasa sakit diketawain rame – rame. Yang bisa memberhentikan kami bermain bukanlah bel saat masuk, melainkan guru yang lari – lari sambil menggiring kami ke kelas masing – masing. Seperti peternak bebek yang menggiring bebek – bebeknya agar rapih dan teratur untuk pulang ke kandangnya.
Sewaktu kelas 3 SD, gue dan Tengku menyukai teman perempuan kelas kami. Tengku suka sama Dinda dan gue suka sama Ayla. Kedua perempuan ini merupakan primadona kelas, tidak ada satupun yang tidak kenal mereka. Sedangkan kami, gue dan Tengku, merupakan bukan idola bagi para cewe – cewe melainkan dua cowo cemen, kurus kering, yang terlempar dengan mudah ketika ada angin.
Untuk menunjukan rasa suka Tengku kepada Dinda, dia menuliskan di tas ransel nya nama Tengku, dibawahnya gambar love, dan dibawahnya lagi nama Dinda, suram abis. Besoknya gue juga ikutan. Yang gue lakukan, gue membawa selembar kartu As heart dari kartu remi punya bapak gue dan menuliskan nama gue, dibawahnya nama Ayla, karena kartu itu sudah tertera gambar heart nya ditengah, maka gue tidak perlu repot – repot untuk menggambarnya kembali seperti yang Tengku lakukan. Ya, kreatif dan males sudah tertanam sejak dini.
Kami berteman dekat dengan mereka, yang Tengku lakukan adalah cari perhatian. Dengan sok – sok-an membelikan Dinda se-cup mie gelas, dan gue melihat diparkiran kalau ban sepeda nya Tengku itu kempes. Gua udah siap untuk dipinjamin duit. Sedangkan gue dengan daya ide yang sangat terbatas. Pura – pura mencolek Ayla dan langsung lari seperti yang dilakukan ketika main kejar – kejaran. Seru banget sumpah, tidak ada bunga, tidak ada coklat, tidak ada motor CBR 250.
Di selang pelajaran Basa Sunda, Ayla menghampiri gue dengan mengajak ngobrol mengenai penyanyi favorit yang sedang hits pada saat itu, Justin Bieber.
“Ram, lu tau ga, lagu – lagunya Justin Bieber? “
“Oh tau yang suka ada di tv“ Gue jawab. Sebenarnya pada saat itu gue gatau dia siapa.
“lagu favorit gue yang kaya gini I wish our hearts could come together as one cause shawty is an eenie meenie miney mo lover Shawty is an eenie meenie miney mo lover”
Lagu Sean Kingston, Justin Bieber – Eenie Meenie memang sedang hitsnya pada saat itu. Gue aja yang kampungan. Sebatas dengar lagu nina bobo sudah menghantui gue karena takut digigit kebo.
Ketika gue dengar lagu Eenie Meenie yang berhasil gue tangkap pada bagian reff adalah sapi ijat menipedi minum mie ma lava. Antara kemampuan Inggris gue yang buruk atau telinga gue tiga minggu belum dibersihin, tapi gue kagum suara dia bagus banget, akhirnya gue ngeles biar ga dikira cowo cupu.
“Mantap, suara lu keren juga”
“Kalo lu suka yang mana?” Ayla kembali bertanya.
Mampus deh gue. Bingung mau jawab apaan. Gak mungkin juga gue kasih tau nina bobo, bisa-bisa dijauhin dan gadibolehin lagi nyontek Matematika.
“Suka yang tadi lu nyanyiin, menipedi pada minum mie sama lava” Jawab gue gugup.
“Hahaha… bukan gitu goblok”
Untungnya dia tahan dengan kebodohan gue dalam bahasa Inggris.
Situasi inilah yang membuat gue betah disini, orangnya asik, gak ada yang baper, ya gak semua orang juga sih. Semua hal yang dilakuin pasti seneng-seneng aja. Tapi aneh gak sih kalo SD udah pengen pacaran? Wkwk. Kelas 3 SD mana tau harus ngapain kalo pacaran. Di umur se-cebol itu apakah punya hubungan yang bukan teman (baca:pacar) semua hal yang menyenangkan bakal ilang atau semakin menyenangkan? Gak ada yang tau. Tapi, satu hal, jika yang sekarang udah buat gue seneng, kenapa harus ngambil resiko yang gak pasti.
Cinta monyet hanyalah rasa suka yang perlahan – lahan menjadi rasa sayang tapi tidak cukup kekuatan untuk memiliki. Menjadi teman sepertinya cukup.
Selain itu, teman yang sudah sangat dekat dan tujuan gue pulang adalah rumah. Tempat untuk kembali dan diisi dengan kebahagiaan dari hari yang melelahkan, dengan melihat keluarga yang sederhana namun tetap merasa cukup. Bapa yang santai – santai diruang tamu sambil baca koran. Ibu gue yang asik membolak – balikan majalah intisarinya sambil sesekali menyeruput segelas teh. Abang yang asik dengan laptopnya dan sesekali gue ikut bergabung untuk nonton Kamen Rider. Adik yang sibuk menonton tv kesayangannya.
Semenjak bapa gue tidak bekerja di personalia lagi di Karawang tepatnya, berniat menjual motor supra x nya kepada tetangga. Menjual segala perabotan yang tidak terpakai. Akhirnya gue mengerti kondisi ekonomi sedang menurun. Maka dari itu dengan berat hati sambil guling – guling di depan komplek. Bapa dan Ibu gue memutuskan untuk pindah rumah. Kembali ke kampung halaman kami di Garut. Beralasan kepada Gue, Abang, dan Adik supaya tidak perlu pulang kampung lagi ketika musim liburan telah tiba.
Tetangga sebelah kami Pa Anto dan Bu Nelis, keluarga beragama katolik, tertarik untuk membeli motor itu. Setelah ditraktir mereka sebungkus martabak. Motor dengan resmi terjual. Jujur gue nangis kejer saat itu karena gue akan pindah. Bapa gue langsung mengeluarkan duit 50 ribu rupiah dari amplop hasil penjualan motor, dan disimpen ditangan gue. Gue sebagai murid Sekolah Dasar kelas 3 tersenyum, harga diri gue hanya seharga 50 ribu rupiah. Bego.
Bingung? pasti. Sedih? Banget. Bunuh diri? kaga lah gila.
Waktu menunjukan pukul 00.15. Semua orang sudah tidur di kamarnya masing – masing. Berbaring di kasur sambil natap langit – langit kamar dengan kaki diangkat keatas kemudian disandarkan ke tembok. Gapernah gue bangun selarut ini.
Selayaknya anak SD yang tidak tahu harus berbuat apa – apa agar pilihan untuk pindah rumah bisa dibatalkan. Pilihan satu – satunya, kabur.
Gue yang terlalu bego membuat pilihan sendiri untuk kabur dari rumah, dengan berbekal tas batman, satu aqua gelas, dan pisang. Entah kenapa yang gue bawa pisang, gue bukan pengin pergi ke hutan belantara yang hanya di hinggapi oleh monyet – monyet, harga diri gue mungkin 50 ribu tapi gue pintar dalam memahami situasi. Mungkin ke sawah lebih sejuk ya.
Mencari baju dan jaket terbaik yang pernah gue punya. Bergerak selangkah demi selangkah untuk membuka pintu kamar. Ketika gue menarik gagang pintu, kepala gue keluar duluan dan melihat sekitar Tampak siluet Ibu yang keliatan dari ruang tengah, sepertinya lagi bikin teh.
Hal yang lebih bego lagi, tiba – tiba jaket gue kerasa dingin gitu, sambil megang dan mencari masalahnya. Terpikirkan selintas di kepala kayanya gue kalo pipis dicelana ga sedingin ini. Ternyata aqua gelas yang gue simpen di celana belakang itu bocor bikin setengah pantat gue basah kedinginan.
Ibu berjalan sambil ngaduk – ngaduk tehnya, liat gue bawa tas, jaket tebal, lagi megang - megang pantat. Ketangkap basah yang emang benar – benar basah.
“Kamu kenapa? ko belum tidur? Ngapain bawa - bawa barang segala ?“ Ibu gue dengan muka khawatir, seraya menyimpan tehnya di meja makan dan menyalakan lampu deket kamar gue.
“Ini bu, aku-“ Belum sempat menjawab pertanyaan brutal. Ibu gue melontarkan pertanyaan ke-4.
“Masya Allah, kamu celananya basah? sini – sini "
Gue memasang muka serius sambil bibir monyong biar keliatan cemberut“ Bu, aku mau jujur ngomong ke Ibu, kenapa kita pindah ? ”
Ibu memberhentikan langkahnya.
“Kan biar ga pulang kampung lagi, Ram “
“Kita udah ga sederhana lagi kan bu. Motor dijual, bapa tiap malem sibuk nyari kerja di koran. Kita mau miskin ya bu ?”
“Engga ko, jadi gini- “
“Aku bosen bu harus bohong terus biar keliatan keren didepan orang yang aku suka, biar aku ga keliatan cowo cemen, padahal itu ga sama sekali. Aku punya banyak temen disini, mereka suka ada aku disitu. Main bola bareng, bercanda bareng, kejar – kejaran. Kenapa kita harus pindah, aku belum tentu bisa kaya gini disana “ saking ga kuatnya gue, akhirnya nangis kejer dan ingus mulai kemana – mana.
Dengan idung yang belepotan, iler keluar – keluar, celana belum ganti. Ibu meluk gue.
“Iya, ibu tau, kita ga bisa selamanya disini. Temen – temen kamu pasti bisa mengerti kalau kondisi kita lagi ga bagus. Orang yang sukses kan harus terus berjuang untuk mencapai hidup yang lebih baik. Orang yang keren itu dia ga terus – terusan ada di satu tempat, pasti dia keliling – keliling dulu nyari cara gimana caranya jadi keren, ga harus bohong sama diri sendiri. Kamu dengan ngomong jujur sama ibu juga, itu udah keren banget buat ibu”
Mencoba mengerti apa yang diomongin Ibu tadi, dengan celana masih basah gue ketiduran dengan tangan masih memeluk Ibu.
Anyway, Karena pada saat itu belum ada telepon untuk memberi kabar, dan juga lagi liburan kenaikan. Sebagai orang yang tidak jago dalam membuat kata – kata yang tepat untuk perpisahan. Gue menelepon Tengku lewat telepon rumah kalo gue mau pindah dan menceritakan apa yang terjadi dan tentu saja pantat basah gue tidak diceritakan. Tengku mengerti dengan yang kami alamin, karena dia juga pernah merasakan itu.
“Gue nitip salam dah buat yang lain, sama satu lagi“ Kata gue.
“Apaan?”
“Gue suka Ayla “
Mentutup telepon sambil senyum - senyum sendiri. Maka berangkatlah gue ke Garut, meninggalkan semua kenangan berharga, yang seharusnya bisa gue lanjutkan.
Untuk temen – temen, gue ngambil dari lirik Pee Wee Gaskins – Just Friends.
I will be there
Always be near
And we can go all the way
Everytime I secretly hope that you’ll treat me differently
Inilah saat yang tepat untuk mengambil resiko yang tak pasti itu, apakah perasaan sedih ini akan hilang atau malah makin menjadi ?
Garut, 9 Januari 2020
Komentar