BOLANYA PANJANG
Bagi orang yang pernah merasakan pindah baik itu pindah
sekolah ataupun pindah rumah, lalu tidak ada pilihan lain yang bisa dilakukan,
maka mau tidak mau mengharuskan diri untuk beradaptasi dengan seseorang. Hal
pertama yang keluarga gue lakukan ketika tiba disini adalah mencari sekolah untuk gue yang naik
kelas empat SD dan abang yang naik ke kelas tiga SMP. Ade gue masih kecil
banget, saking kecilnya ketika lagi rebahan gak sengaja suka
keinjek-injek. Jika dibandingkan dengan kota lain, kota ini adalah kota yang kecil.
Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk sekedar ke Gramedia, atau Cinema XXI,
bahkan Sports Station, kami harus pergi ke Bandung dulu. Begitu ketika
proses mencari sekolah untuk abang gue, ketika survey ke berbagai sekolah,
dilihat dari jarak rumah, fasilitas, unggulan atau tidak. Abang gue memutuskan
untuk melanjutkan di salah satu sekolah unggulan yaitu SMPN 2 Garut yang cocok
dengan kriterianya. Pintar, abang gue luar biasa pinter, berkali-kali dia ada
di top 5 sekolah. Gue engga tau cara belajar apa yang dia lakukan sampai-sampai
otaknya jadi mengkilap gitu. Ketika weekend, abang gue bisa menghabiskan satu
buku LKS dia selesaikan sendiri, padahal
masih awal semester baru. Ketika teman gue pacaran, kemudian sekolah berantakan
karena dibutakan oleh hasrat dalam hati sehingga waktu yang telah dia habiskan
adalah untuk pacarnya. Lalu ketika putus, biasanya disibukkan dengan jerit
nangis-nangis ngabisin tisu dan ingus, curhat di instastory sambil nulis quotes
patah hati hasil copy dari Twitter. Kemudian setiap hari dengerin lagu galau sampai pagi, akibatnya sekolah makin tidak fokus, PR malah jadi limbah,
lalu jatuh bego.
Beda dengan abang gue sewaktu dia putus. Dia merubah rasa
itu menjadi hal yang lebih tidak lazim, hal yang diperuntukkan kepada manusia-manusia
antimainstream. Semacam ada bensin yang menggerakannya untuk mengalihkan
perhatiannya dari patah hati. Dia menghabiskan waktu galaunya untuk belajar,
yes belajar, sungguh tidak lazim bukan? Apa sebenernya gue aja yang nganggep
itu gak lazim, hhmm. Anyway, di akhir
semester, nilai abang gue jadi naik. Waktu bagi rapot, wali kelasnya bilang
abang gue naik jadi Ranking 2. Cukup unik merubah patah hati jadi sesuatu yang
produktif.
Gue adalah sebaliknya. Jika abang gue mempunyai IQ jauh diatas
rata-rata, maka IQ gue sepertinya akan setara dengan cacing tanah. Gue bilang ke nyokap hal pertama yang gue inginkan di sekolah baru
adalah pokoknya lapangannya harus gede, udah. Padahal nyokap telah menyusun
rapi sekolah-sekolah unggulan mana aja yang akan didatengi. Berhubung dulu gue
suka nendangin bola, maka yang terlintas di kepala gue adalah itu.
Karena kriteria yang sungguh minim, nyokap mendaftarkan gue
disekolah yang tidak jauh dari rumah hanya butuh sekali naik angkot dan turun
tepat di depan sekolah. Bener sih lapangannya gede, tapi baru gue sadari di hari
pertama masuk, ternyata ada 5 sekolah yang tergabung disitu dari SDN 1 sampai 5,
dan lapangannya harus berbagi dengan sekolah lain.
Proses adaptasi di lingkungan yang gue gak kenal adalah yang membuat gue kewalahan disana. Faktor utama yang membuat gue cuma bisa ngang ngong ngang ngong doang adalah karena bahasanya berbeda dan lingkungannya jauh berbeda. Tentu saja disini menggunakan bahasa sunda dan gue enggak bisa bahasa sunda. Karena kemampuan gue dalam berbahasa sunda bisa dibilang ancur menembus initi bumi. Suatu hari ketika bokap mengajak pergi ke sebuah tempat dengan jalan masuknya berada di sekitar bunderan dengan patung seorang tentara dan harimau. Kami pergi ke tempat dia tinggal dulu dengan saudara-saudaranya, yaitu sebuah tempat bernama Leuwidaun. Tetapi ketika diajak kesana, gue kebingunan karena tidak menemukan pohon-pohon disana, gue mengira kami akan pergi ke hutan atau sawah, karena yang gue dengar adalah meuli daun (beli daun)
"Pak kita mau beli daun?" tanya gue.
"Kenapa bet jadi beli daun ari Faris teh. Leuwidaun itu tempat bapa tinggal kecil dulu"
"Ohh..." Gue dengan tampang pura-pura mengerti.
Beruntunglah gue tidak dijual ke tukang sayur.
Hal lain yang bikin gue gagal paham ketika tetangga mengajak gue untuk bermain layangan. Gue cukup kenal dengan Ali, umurnya tidak jauh dari gue, tetangga dekat rumah, ibunya mempunyai warung kecil dirumahnya. Kami kenal karena pada suatu sore gue lagi bengong berdiri di atas pager liat sawah luas bergoyang-goyang. Tiba-tiba dateng cowo pendek berambut klimis dengan bedak yang cukup tebal seperti bocil lainnya ketika habis mandi sore, mengajak gue kenalan karena dia menyadari gue adalah orang baru, karena ketika gue lagi menurunkan barang-barang dia dan teman-temannya memperhatikan di tepi sawah. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Ali, gue membalasnya dengan “Panggil aja Faris.” Panggilan gue berbeda dengan sekolah, orang tua dan saudara manggil gue dengan ‘Faris’ dan ketika di sekolah, gue memperkenalkan diri sebagai ‘Ramdan’
Kemudian dia meminta gue untuk mengantarnya membeli cilung, gue
enggak tau itu benda apaan. Ali menjelaskan kalau itu adalah makanan terbuat
dari aci yang di gulung. Gue masih gak kebayang tepung aci yang di gulung kaya
gimana. Sampai disebuah rumah kecil dengan gerobak di depannya tertulis
‘CILUNG Teh Neneng’ berwarna merah pucat. Gue baru mengerti kalau itu adalah makanan dengan
adonan aci yang digoreng kemudian di gulung menggunakan tusuk sate. Persis
seperti cilor yang gue liat di jajanan SD bedanya itu pake telor dan ini aci. Dengan tiga buah cilung ditangan Ali repot membawa semua itu di kedua tangannya. Gue cuma
beli satu, karena gue gatau ini enak atau engga. Gue pun menawarkan diri untuk
memegangi satu cilungnya. Dengan mata sipitnya yang semakin terlihat hanya
garis ketika senyum, dia berterima kasih dan akan mengajak gue untuk
bermain layangan besok sore.
Keesokannya tepat setelah adzan ashar, gue disamper Ali dengan
berkata “Fari..ii..ii..iiiss urang ameng” (Faris kita main) Gue ditengah tidur
siang, dibangunkan nyokap kalau ada yang ngajak main. Gue keluar rumah, dibalik
pagar dia membawa satu buah layangan cukup besar dari badan dia sendiri sekitar
70x75cm yang dia gantung di pundaknya dengan gulungan benang berwarna-warni
ditangan kirinya. Kami menerbangkan layangan di pinggir sawah, angin yang cukup
kencang berhasil membawa layangan terbang tinggi dengan mudah. Gue yang lagi
memegang benang sesekali mengulur ketika Ali memintanya. Dulu gue juga sering
main layangan di lapangan komplek, tapi gue tipe yang ketika layangan damai
diatas sana udah membuat gue senang tanpa harus di adu dengan layangan lain. Ali ini tipe yang senang berburu layangan,
dia akan mencari mangsa untuk dilawan bahkan sering mengajak orang lain hanya untuk mengadu. Layangan kami yang putih polos dengan
aksen merah berbentuk V dibagian tengah tiba-tiba didatengi layangan putih
dengan aksen bintang berwarna merah menyala. Merasa ditantang, Ali mengambil
komando untuk menghampiri layangan tersebut.
“Yakin mau dilawan?” Kata gue.
“Heeh nyaan, kalem weh, aing jago” (Beneran, santai aja, gue jago)
Kata Ali serius.
Ali meminta gue untuk mengulurkan benang, gue menuruti arahannya bagai pilot dan co-pilot di sebuah penerbangan pesawat. Jarak
layangan kami dengan musuh sangat dekat. Mukanya serius, gue semakin antusias ketika benang yang gue ulurkan
ditambah dengan tangan Ali yang sibuk ia angkat ke kanan dan kebawah. Bsnang
dari layangan kami berhasil bergesek dengan layangan musuh. Ia menarik
sekuat tenaga dengan harapan layangan musuh putus terbang lunglai entah kemana
ditiup angin. Dengan konsentrasinya yang penuh, gue hanya bisa melihat kedua
layangan itu saling bergesekan, tidak sadar bahwa benang-benang yang telah
ditarik menjadi kusut. Gue kemudian menggulung-gulung benang itu dan Ali bergerak semakin heboh tangannya bergerak kesana kemari. Sekitar dua menit saling
beradu sampai akhirnya terdengar suara “CEPRETTT...” layangan kami putus tidak
berdaya.
“Ris pegat Ris” (Ris putus Ris) kata Ali kecewa. Gue hanya melihat dari
bawah layangan terhembus angin. Ali memicingkan matanya sampai gak bisa lagi dibedakan antara memicingkan mata dan merem. Di memperhatikan ada sesuatu
yang janggal disitu, lalu dia bilang “Ris bolana panjang Ris.” Kemudian dia
berlari sekencang mungkin ke arah sekitar jalanan rumah.
“MANA ADA BOLA DIATAS LANGIT DAN PANJANG KAMPRET” pikir gue dalam
hati. Gue yang cuma bisa mangap bingung karena mendengar apa yang di katakannya barusan. Karena panik gue akhirnya mengikuti dia dari belakang. Buset cepet
banget dia larinya, bagaikan cheetah yang udah gak makan tiga minggu dan melihat rusa gemuk sedang duduk santai menikmati hidup. Gue
ketinggalan jauh, nafas mkain gak beraturan.
Gue melihat benang yang cukup panjang dari layangan menggantung di
jalanan. Ali berusaha menggapainya agar layangan kesayangannya bisa dia dapatkan kembali. “Ris
itu bolanya Ris” Kata Ali sambil loncat-loncat.
Gue mengarahkan kepala gue keatas. Muter-muter mencoba memahami
keajaiban dunia yang dia lihat dari bola yang terbang diangkasa. “MANAAA…” Mata
gue sibuk nengok-nengok kelangit. “KAGAK ADA BOLA WOY…” Kata gue, leher jadi
pegel akibat liat atas melulu.
Dengan kaki yang masih berlari Ali membalikkan badannya kearah gue yang kini jadu berlari mundur. “ITUUU BENANG…” kata dia. “BOLAAA TEHH BENANGGGG.”
“OOHHH BILANG DONGGG”
Kami yang masih lari-larian mengejar layangan ditambah dengan sahut-sahutan antara gue dan Ali karena baru ngerti arti dari bola yang dia maksud. Gue memperlambat lari gue, kaki udah mulai
pegel. Ali juga udah ngos-ngosan, dengan tenaga yang Ali bisa, tidak mungkin dia nekat
ngejar sampai ke jalan raya. Ali masih mencoba untuk dekat dengan benang itu. Lau dengan satu teriakan “HIIATTT…” dari mulut Ali, melompat indah dengan tangan yang berusaha meraih benang layangan bagaikan pose Ultraman ketika
baru saja berubah dari permukaan tanah kemudian terbang ke atas langit . Takdir berkata lain, ujung jarinya hanya bisa menyentuh benang. Seteelah itu layangan putus
tertiup angin membawa terbang entah nasibnya gimana.
Setelah layangan kesayangannya pergi, gue jadi membujuk dia untuk main PS dirumah.
Hari sekolah dimulai. Gue di sekolah cuma bisa ngangguk-ngangguk biar keliatan kalo gue ngerespon aja. “Lu
ngomong apaan si? Urang Aing Kicimpring Endog Ucing” kata gue gak ngerti. Gue hanya bisa mengangguk setiap orang yang mengajak bicara pake bahasa sunda. “Gaya
euy si Ram” kata seseorang dan Gue mengangguk. “Ulah gandeng Ram” (Jangan berisik Ram) kata
seseorang lalu gue mengangguk. “Belegug sia mah” (Bego lu) kata seseorang kemudian gue
mengangguk.
Bahasa sunda yang gue tau pada saat itu selain bola adalah angka satu sampai sepuluh itu pun beberapa ada yang sama dengan Bahasa Indonesia. Angka
berikutnya gue gak tau. Gue menyebut angka sebelas dalam bahasa sunda pada saat awal-awal sekolah
adalah sabalas.
Ketika dia selesai tertawa, Aldi salah satu
orang yang gue kenal menjelaskan kalau sebelas dalam bahasa sunda adalah
sabelas, beda tipis.
Sejak awal gue udah terkejut dengan bahasa yang digunakan. Gue bergabung dengan grup berisikan laki-laki yang dominan suka bermain bola. Gue lebih terkejut lagi dengan gaya bahasa yang mereka gunakan. Bagi gue gaya bahasa yang kasar dan diksi yang kasar untuk diucapkan hanya bisa gue liat dulu ketika melihat dari abang-abang tukang palak dan anak bandel jarang sekolah yang seumuran dengan gue. Bagi gue yang culun dan hidup lurus-lurus aja mengira apa yang mereka katakan itu sebagai umpatan. Tetapi mereka gak bermaksud untuk itu, mereka menyelipkan diksi-diksi 'kasar' yang biasa gue dengar disini dibawakan dalam konteks dan pembawaan yang menyenangkan dengan tujuan bukan untuk mengumpat kepada orang lain. Gue sebagai orang baru ketawa-ketawa aja mendengar hal itu. Pikir gue saat itu diksi anying, goblok, tolol, dll adalah sesuatu yang lazim untuk diucapkan. Dalam pandangan anak berumur 11 tahun, awalnya gue kaget karena diksi itu dulu sering gue temukan dari orang yang umurnya jauh diatas gue. “Widih biasa aja kali” pikir gue ketika sebagai anak SD merasa hal itu adalah umpatan. Lama kelamaan gue mulai terbiasa dengan hal itu.
Masalah terbesar gue memang dalam segi bahasa dan lingkungan yang pada akhirnya ini mengingatkan gue pada satu kejadian saat itu ketika kelas 6 SD. Begini, ekhem. Gue tergabung dalam organisasi Pramuka saat itu, kegiatannya selain latihan dasar pramuka juga baris-berbaris baik itu untuk lomba atau menjadi petugas upacara yang dibagi jadwalnya bergantian dengan sekolah lain. Hari sebelumnya, di hari minggu ada jadwal latihan rutin yang diadakan di sekolah. Di akhir latihan yang kebagian jadi petugas untuk upacara besok adalah jadwal sekolah gue, jadi setiap anggota yang akan menjadi petugas upacara memakai sepatu pantofel yang biasa dipakai untuk baris-berbaris termasuk gue, saat itu gue ada dibagian pasukan pengibar bendera. Kemudian kakak Pembina memakai uang iuran tiap latihan untuk membeli sepatu-sepatu pantofel yang baru saja dibeli kemudian dibagikan ke setiap anggota. Setelah gue coba ukuran sepatunya ternyata satu setengah lebih besar dari ukuran gue biasanya, hasilnya gue gak nyaman pakai sepatu itu. Keesokannya mau tidak mau gue memakai sepatu pantofelnya dengan jempol kaki yang jauh dari ujung sepatu.
Kelas sudah cukup ramai saat itu, gue memang telat 30 menit dari jadwal yang seharusnya direncanakan kumpul jam 6 pagi untuk petugas upacara. Salah satu cewek yang gue kenal anggaplah namanya Caca, terlihat berbisik dengan temannya yang anggap aja Nana memperhatikan sepatu gue sambil ketawa-ketawa. “hehehe sepatunya kegedean nya hehehe.” Kata Caca.
Setelah itu dengan spontan
gue bilang “Hahaha Anjing” gue ketawa kecil.
Tepat disamping Caca adalah ibunya. Kemudian satu kelas diantara
kegaduhan dari orang-orang seketika berubah menjadi hening. Karena merasa ada
yang aneh, semua orang di kelas mengarah pandangannya ke gue.
Raut Caca berubah takut. Raut gue jadi ikutan berubah.
Semua bengong ngeliatin. Gue nengok kanan-kiri. Kayanya ada yang
salah ya? pikir gue. Kelas diam tak ada suara.
Salah satu petugas upacara sehabis dari ruang kakak Pembina memasuki kelas
lalu bilang “Hey, harayu upacara.” kata dia memecah keheningan. Satu persatu
orang keluar kelas, ada yang ngambil topinya ditas, ada yang merapihkan
dasinya. Lalu, gue keluar bersama dengan petugas upacara yang lain. Upacara
berlangsung lancar, ada sedikit kesalahan dari gue sendiri ketika berjalan
ditempat untuk beberapa langkah tidak selaras dengan yang lain.
Upacara selesai. Setelah gue keluar dari ruang peralatan, salah
seorang yang gue kenal memanggil gue untuk segera menghadap ke wali kelas. Gue
sampai diruang guru melihat wali kelas berikut dengan ibunya Caca. Suasana
ruang guru tidak mengenakkan saat itu, ada hawa panas yang mengitari ruangan. Kami
bertiga berbicara baik-baik tentang apa yang terjadi sebelumnya. "Kamu Teh Masih SD Ngomongnya Jangan Kasar" suara ibunya Caca terdengar cukup tinggi sampai membuat gue tertegun. Wali kelas menenangkan ibunya Caca dan mempersilahkan gue untuk kembali ke kelas. Gue keluar ruangan
kemudian berjalan di sebuah lorong kecil untuk sampai ke kelas. Di kepala gue muncul tulisan besar 'HAH?' menyelimuti pikiran gue.
Gue membuka pintu kelas, duduk di kursi gue, lalu mengeluarkan isi tas, buku pelajaran PPKN untuk di jam pertama. Aldi menghampiri meja lalu duduk disebelah
gue “sianying ai maneh kunaon?” (si anjing lu kenapa) kata dia. Kemudian gue
bilang “HAH?”
Tak lama wali kelas masuk menaruh buku-buku di meja guru. “Barudak sing di jaganya bahasana ka babaturan, lamun 3x ngomong Anjing bakal kaluar ti Islam.” (Anak-anak mohon dijaga ya bahasanya ke temen, kalo 3x ngomong anjing bakal keluar dari islam) Kata wali kelas gue dengan nada lemah lembut. Gue tertawa kecil “Ini gara-gara gue kan ya?” tanya gue dalam hati. Wali kelas bangun dari duduknya dan menerangkan materi pelajaran di depan kelas.
Gue menyandarkan punggung, menghadap jendela keluar, terlihat ibu-ibu dari kelas gue mengobrol, kemudian
datang seorang guru dengan kerudung panjang memasuki lorong. Gue
menengok belakang ke arah dinding kelas, disana ada papan jadwal piket, jam dinding, lukisan-lukisan kecil, dan pintu yang menghubungkan ke kelas lain. Gue melihat keatas
dinding, terlihat ada tulisan besar yang di cat merah bergaya huruf sambung
dengan tulisan “GUNAKAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR”
Gue tersenyum tipis.
Komentar