10. HANTU

 



Kalo kalian nge-follow akun pribadi gue, di sana pasti kalian tahu kalo gue dan teman gue, Agip baru ngalamin kejadian serem. Bukan, Agip ini bukan oli dari Italia. Dia badannya gak licin dan ingus yang keluar dari hidungnya gak akan dipake buat melumasi motor matic.

Kejadian ini bermula ketika kami sepakat untuk pergi ke Goa Belanda dan Goa Jepang yang terletak di Taman  Ir. H. Djuanda, Dago, Bandung. Jujur, gue baru tahu kalo ada tempat seperti itu dan gue gak punya ekspetasi apa-apa. Awalnya kami mau ke Bosscha, tapi karena lagi tutup, jadi Agip menyarankan buat ke goa itu.

Singkat cerita, kami tepat berhadapan dengan Goa Jepang. Ada dua orang mas-mas yang lagi duduk di depan mulut goa “A mau masuk ke goa? Pakai senter cuman Rp 5000,-, kalau mau di temenin harganya Rp 30000,- kata salah satu dari mereka. “Gak mas, makasih” kata gue, karena goa itu jaraknya tidak terlalu besar dan flashlight dari handphone sudah cukup, pikir gue. Kami perlahan masuk ke Goa Jepang. Suasana mendadak berubah ketika pertama menginjakkan kaki disana. Ada angin yang berhembus kepada kami. Setelah lima langkah dari sana, kami berhadapan dengan perempatan goa. Dengan pencahayaan yang minim dan suasana cukup dingin, gue melihat sekitar. Gue tidak melihat ataupun merasa ada apa-apa di situ. Flashlight yang dipegang oleh Agip mengarah ke seluruh goa. Di situ gue lagi liat ke arah kiri, di sana ada banyak cahaya dari matahari, kayanya itu jalan buat kita keluar nanti. Ketika flashlight handphone Agip menyinari bagian kanan, dengan buru-buru, dia mendorong gue untuk segera keluar. Entah apa yang Agip lihat atau rasakan. Gue tertawa kecil di situ, pikir gue wajar saja kalau terjadi sesuatu di tempat seram. “Okay, okay, yu keluar” Kata gue. Baru lima langkah dari sana, kami keluar goa.

Kami memutuskan untuk terus lanjut ke tempat selanjutnya. Ada jalan kecil yang dibatasi pagar, di sana  ada monyet yang menghalangi jalan. Gue diam, Agip diam. Agip takut kalo monyet itu akan mencakar dia. Gue gak tahu monyet itu sebelumnya pernah kenal Agip terus punya dendam masa lalu, gak paham. Kalau gue takut kalau monyet itu akan mencuri barang pribadi gue. Karena waktu di Pangandaran dulu, Fanta gue pernah dicuri terus diabisin dengan satu kali tegukan. Beruntungnya gue gak bawa apa-apa waktu di perjalanan menuju Goa Belanda, cuman hape dan kentut. Kami berjalan melewati monyet itu, ada tatapan tajam dari matanya yang menyorot ke arah gue seakan-akan bilang “Bawa gorengan kali bang, yaelahhh!!! Gue laper, Monyettt lo!!!!”

Goa Belanda, kami tepat di depannya. Ada sinar kecil di ujung jalan, kayanya itu jalan keluarnya dan tempatnya gak terlalu banyak cabang kaya Goa Jepang. Sama seperti tadi, ada mas-mas yang juga duduk di situ untuk menawarkan senter dan jasa tour guide. Cuman kali ini lebih ekstrim, dia sudah berdiri sambil mengeluarkan kalimat ajakan sambil menghampiri kami “A, ayo a, saya temani sambil saya ceritakan tentang Goa Belanda

“Gak, mas, makasih. Itu diujung jalan keluarnya?” kata gue malah tanya.

“Engga, jalan keluarnya sama kaya jalan masuk, itu jalan masuk juga cuma beda arah” kata dia judes.

“Oh begitu mas, makasih” kata gue.

Kami jalan lurus untuk sampai di ujung jalan. Flashlight handphone Agip mengitari seluruh jalan. Kanan dan kiri terdapat sebuah ruangan kecil yang katanya itu adalah tempat para tentara Indonesia ditahan. Lagi-lagi, suasana mendadak berubah. Entah karena goa itu memang dingin atau sebenernya tiba-tiba dingin ketika ada orang datang. Belom sampai di ujung jalan, Agip sudah ngerasa gak enak, akhirnya kami memutuskan buat keluar.

Agip masih belum ingin menceritakan apa yang terjadi di sana. Gue mengiyakkan kalau jangan menceritakan apa yang baru terjadi di tempatnya langsung, mending nanti di parkiran. Kami jalan sejauh 1,7 km untuk sampai di penangkaran rusa, tempat rusa-rusa di rawat. Tempat itu adalah tujuan terakhir kami, mengingat waktu sudah jam sebelas, dan Agip harus kuliah nanti jam satu. Sebenernya banyak yang belum kami hinggapi, masih ada curug-curug lainnya. Tempat penangkaran rusa itu masih di tengah-tengah dari seluruh Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Kami sampai, liat rusa bentar, abis itu pulang ke jalan yang sama. Di perjalanan pulang, kami sepakat untuk balik lagi ke Goa Belanda, tapi kali ini lewat jalan masuk yang ada di ujung jalan. Berbeda dari jalan yang kita masuki di awal. Lumayan motong jalan, gak harus muter.

Kami sampai di tempat, sama persis gelap gulita, hanya cahaya kecil di sana. Gue memutuskan kalau sambil gue rekam, sekedar video kecil tanda gue pernah berada di goa ini. Angin berhembus, dingin. Tapi kami sudah biasa saja. Berjalan perlahan, perlahan, perlahan. Di tengah jalan, kali ini gue ngerasa gak enak, kayanya Agip juga. Gue gak berani liat belakang. Kami pun jadi buru-buru jalan untuk keluar dari sini. Sampailah kami keluar, selamat, gue menengok ke belakang, gak ada apa-apa. Goa Jepang pun sama, kami sudah biasa saja. Bedanya Goa Jepang dan Goa Belanda, Goa Jepang memiliki banyak jalan bercabang dan memiliki banyak jalan keluar yang berada di sebelah kiri. Goa Belanda hanya ada satu jalan lurus yang kanan kiri berupa ruangan kecil, entah ada jalan lagi kalau masuk ke ruangan kecil itu, gue gak tahu. Goa Belanda jauh lebih proper dari Jepang, kalau Goa Jepang hanya goa yang masih ada tanah dan pasir, Goa Belanda sudah sudah diisi oleh semen dan semacamnya.

Jadi apa yang dirasakan oleh Agip ketika di sana yaitu, pertama, waktu di Goa Jepang tempat pertama kali kita di sana. Baru lima langkah pertama, Agip mendengar kalau ada suara semacam “hihihi...” dari sesuatu yang diduga adalah ‘Miss K’ atau Kuntilanak. Bisa lo bayangkan kalau suara yang Agip dengar seperti suara ringtone kuntilanak yang ada di Youtube. Biasa dipakai buat ngerjain teman. Kedua, waktu di Goa Belanda, dari ujung mata kanan Agip, dia melihat sekilas sosok putih yang lewat di sana. Seperti warna putih, tapi tidak sepenuhnya putih, melayang di sana. Sedangkan gue? Biasa saja (padahal hampir pipis di celana). Gue jadi ikut takut waktu kita jalan untuk kedua kalinya di Goa Belanda yang sambil gue rekam. Gue merasa kalau kami sedang diikuti dari belakang. Kaya ada angin yang mendorong gue. Agip merasa kalau dia mendengar suara langkah kaki. Dia pikir itu langkah dari sepatu gue, tapi setelah di dengar lagi, suaranya beda. Ada langkah kaki yang mengikuti kami dari belakang.

Bersyukur, kami aman. Kami cerita tentang apa yang terjadi di sebuah bangku yang dikelilingi pohon tidak jauh dari pos tiket dan juga parkiran. Gue juga membuat rekaman tentang apa yang dirasakan Agip. Mungkin salah satu dari kalian sudah menonton. Entah ini karena gue gak punya ekspetasi apa-apa soal tempat itu, jadi biasa saja. Entah karena Agip telah menonton Jurnalrisa dan Kisah Tanah Jawa tentang goa itu, jadi dia punya ekspetasi tersendiri. Tapi, apa yang terjadi itu nyata, semuanya nyata, gak ada yang gue lebih atau kurangkan. Tentang suara? Itu nyata. Tentang sosok putih? Itu nyata. Tentang langkah dari belakang? Itu nyata. Ketakutan kami? Nyata.

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBELUM TIDUR

SERBA - SERBI MENJADI ORANG YANG MEMBOSANKAN

DO PEOPLE THINK ONLY ABOUT LOVE IN THEIR WHOLE LIFE?