BELAJAR BERBICARA


 

June, 10 2022

Ketika gue kecil, bisa dibilang gue lumayan supel sama orang. Gue tidak memiliki keraguan untuk ngajak ngomong sama orang yang baru gue liat pertama kali, bahkan bisa langsung temenan. Gue merasa bisa bawa kebahagiaan buat orang lain, bisa buat orang lain ketawa dari apa yang gue bicarakan, entah menceritakan tentang kejadian bodoh yang gue alamin atau kelakuan absurd dari keluarga gue. Entah orang lain merasakan hal yang sama juga atau cuma perasaan gue doang. Tapi yang jelas, gue seneng ngeliat orang ketawa karena gue.

Begitu gue pindah ke tempat yang hanya gue datengin waktu lebaran doang, terus ada di tempat yang asing banget, harus adaptasi sama orang baru, di lingkungan dengan budaya dan gaya bahasa yang beda, lalu diputuskan untuk tinggal disini, dalem kepala gue “Ini gue harus ngapain?”

Bahasa yang gue gunakan sangat berbeda dengan apa yang mereka gunakan, mungkin mereka masih mengerti sama apa yang gue ucapkan karena masih bahasa Indonesia, walaupun tidak formal dengan pergantian ‘aku’ dan ‘kamu’ menjadi ‘Gue’ dan ‘Lo’. Namun, bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa asli dari daerah mereka sendiri. Gue cuma bisa bengong doang tanpa tau maksud dari artinya apaan. Bener, gue lahir disini, darah gue dari sini. Tapi gue dibesarkan disana, diajarkan sesuai dengan lingkungan yang ada disana. Wajar aja bagaimana bingungnya gue untuk berkomunikasi secara ‘benar’ dengan mereka.

Gue tetep menggunakan bahasa sehari-hari gue, dan lama-kelamaan gue beradaptasi dengan bahasa mereka, sedikit demi sedikit gue coba menerapkan itu. Beberapa kali juga gue sering salah menyebutkan kata. Karena gue bergaul dengan orang yang menggunakan bahasa daerah yang ‘kasar’ maka bahasa yang gue pelajari adalah begitu juga. Sampai suatu hari gue tidak sengaja mengucapkan kata yang tidak pantas untuk diucap kepada perempuan terpintar di kelas tepat di samping ibunya. Saat itu gue pikir, karena penggunaan bahasa seperti ini akan berhasil jika diterapkan kepada orang lain, maka gue gunakan juga, tapi ternyata tidak, harus gunakan bahasa yang sesuai kepada orang yang sesuai.

Gue semakin tumbuh, kosa kata semakin kaya, bahasa daerah gue semakin fasih, walaupun dalam beberapa kesempatan ketika ngobrol sama orang gue suka bilang ‘itu artinya apaan?’

Kemudian bertemu dengan orang yang gak gue sangka ada yang seperti ini, masalah lalu muncul, berdampak kemana-mana, gue kebingungan harus ngapain, sampai akhirnya gue memutuskan untuk diam. Daripada apa yang gue omongin akan membuat gue dapet masalah sosial, gue lebih baik diam, dan menyembunyikan diri gue siapa.

Gue tidak perlu ngomong kalau gak ada yang perlu diomongin. Gue hanya menjawab sesuai sama apa yang dipertanyakan tidak dilebihkan dan sederhana. Gue membuat diri gue bersembunyi tanpa harus gue keluarkan, karena gue merasa yakin kalau gue terlalu muncul ke permukaan, maka masalah sosial lain akan muncul. Dan itu akan ribet dan membuat gue kerepotan. Gue lebih baik sendiri tapi tenang daripada banyak orang tapi berisik.

Selama bertahun-bertahun gue seperti itu, hidup gue jauh lebih tenang daripada sebelumnya, gak ada kebisingan dari orang sekitar, gak ada omongan panjang lebar sampai telinga gue panas, dan gue gak perlu berinteraksi dengan banyak orang yang nantinya akan merepotkan.

Masalah lain muncul bukan dari sosial melainkan dari diri gue sendiri, ketika gue bertahun-tahun menyembunyikan diri gue, dan emang rasanya tenang banget, tapi kenapa gue merasa kosong?

Gue mulai mempertanyakan kemana diri gue yang dulu, yang bisa ngobrol sama siapa aja ke orang, bisa langsung akrab dengan orang yang pertama kali dia temuin, tanpa kehabisan kosa kata, tanpa kehabisan topik bicara.

Jujur gue merasa kaget, baru gue sadari semakin gue tumbuh, semakin gue merindukan diri gue yang dulu.

“Ini orang kemana ya?” Perasaan dulu gue begitu, kenapa sekarang jadi begini.

Gue rindu, tapi gue seneng juga sama diri gue sekarang, dari ketenangan itu.

Sepuluh tahun gue hidup disini setelah pindah, gue merindukan diri kecil gue dulu disana. Mungkin sekarang juga berbeda, mungkin seandainya sepuluh tahun gue masih disana, gue akan merasa lebih baik atau bahkan lebih buruk.

Cuma itu gak penting, berandai-andai hanya ada dipikiran doang tidak akan membuatnya berubah ke apa yang sedang terjadi sekarang.

Ada rasa keraguan untuk berbicara ke orang sekarang. Gue udah lupa gimana rasanya, bahkan gue lupa apa seharusnya kata yang tepat untuk mengajak berbicara ke orang yang telah gue kenal. Gak muncul apa-apa dari kepala gue tentang apa yang seharusnya gue katakan kepada orang lain. Dalam beberapa kesempatan gue hanya bisa merespon sekedarnya aja, walaupun sebenernya ada opini yang pengen gue sampaikan, cuma gue gak tau harus bagaimana?

Gue seperti orang yang baru belajar bicara.

Gue hanya bisa menghabiskan waktu gue untuk mendengar dan melihat tanpa berbicara, seperti dengerin musik, nonton film, nonton orang ngobrol di youtube. Perlahan gue belajar dari situ, bahwa gue gak bisa begini terus, sosialisasi itu penting, mungkin gue belum menemukan aja orang yang tepat untuk gue ajak ngobrol atau lebih tepatnya orang pertama yang bisa gue ajak ngobrol setelah sekian lama.

Keinginan gue untuk belajar berbicara datang dari gue yang mendengar dan melihat. Apapun itu gue masukkan kedalam kepala gue sebagai bahan referensi dan menambah perspektif baru untuk gue sampaikan kepada lawan bicara gue nanti.

Gue coba untuk kenal dengan orang baru dari webinar psikologi gratis yang sering diadakan di internet. Ternyata ngobrol sama orang semenyenangkan itu, gue lupa terakhir kali rasanya gimana, cukup aneh bagi manusia berumur 20 tahun yang bahagia  ketika dia berbicara dengan satu orang yang tidak dia kenal di internet. Ini menjadi hal lama yang bangkit kembali. Serius, ternyata ngobrol sama orang segokil itu, lu jadi bisa ngeluarin isi kepala lu selama ini, tapi disaat itu juga lu bisa menerima apa isi kepala orang lain, tidak menimbulkan kebisingan di telinga gue dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan kepada diri gue.

Namun, untuk saat ini gue baru berani hanya kepada satu orang. Gue masih enggan untuk berkumpul rame-rame. Gue masih membayangkan akan ada kejadian gak enak, walaupun disana ada banyak mulut tapi tidak semua mulut akan mengeluarkan suara. Gue enggak suka dengan keheningan yang lewat ketika rasa canggung itu muncul. Berbeda dengan satu orang kita hanya berhadapan dengan satu orang, satu orang. Ketika dia mengucapkan sesuatu, lu tinggal mengucapkan sesuatu lagi tanpa harus menunggu atau bergantian dengan orang lain.

Pada intinya, gue ingat bahwa dulu gue adalah orang yang sangat mudah untuk berbicara kepada orang lain, lalu kemudian gue lupa rasa itu seperti apa, dan gue akan mulai dari nol lagi bagai orang yang baru mulai belajar berbicara. Walaupun saat ini baru satu orang, dan rasanya menyenangkan. Mungkin di masa depan nanti gue yang dulu bisa kembali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBELUM TIDUR

SERBA - SERBI MENJADI ORANG YANG MEMBOSANKAN

DO PEOPLE THINK ONLY ABOUT LOVE IN THEIR WHOLE LIFE?