BERHARAP RASANYA SAMA
Cerita ini ditulis tanggal 11 Januari 2022 jam 01.21 pagi.
Ketika gue nulis ini, terutama bagian ketika gue mampir lagi ke Polimer setelah
10 tahun. Dalam dada gue kaya muncul perasaan aneh. Perasaan yang sulit banget
dijelasin, gatau rasa ini namanya apa.
Satu kalimat yang bapake ucapkan malam itu di tahun 2011 adalah “Kita akan
pindah rumah”
Gue yang lagi fokus main kartu Yu-Gi-Oh! sibuk mikirin
gimana caranya membalikkan keadaan, abang gue cuma bisa tertawa jahat seperti
antagonis di film-film. Penyebabnya adalah saat itu kemampuan bahasa Inggris gue ancur
banget, dan sekarang ancur aja. Mungkin itu salah satu faktor kenapa gue kalah mulu kalo main
sama abang. Sedikit-sedikit bilang “Eh ini artinya apaan dah?"
Singkatnya permainan kartu Yu-Gi-Oh! adalah kartu yang terdiri dari monster cards, magic cards, sama trap cards dengan tujuan mengurangi life point lawan menjadi 0. Selain banyak aturan yang harus dipahamin, Duelist (sebutan pemain Yu-Gi-Oh!) harus cerdas dalam mengatur strategi dengan mengkombinasikan tiga tipe kartu tersebut. Menurut Wikipedia, Yu-Gi-Oh! masuk Guinness World Records sebagai Top Selling trading card game tahun 2009.
Gue berhasil menarik kartu trap Mirror Force. Bagi yang belum tau, efeknya itu ketika lawan
menyerang maka serangan itu akan di pantulkan kembali dan menghancurkan
monster-monster di arena lawan. Namun, mendengar bokap mengatakan hal keramat barusan, gue
tatap mukanya yang sudah agak kendur itu lengkap dengan rokok garpit menempel
dibibirnya. Sepertinya apa yang bapak gue bilang ini serius.
Cerita soal pindah
rumah ini udah gue ceritain di postingan sebelumnya dengan judul 'Pindah'. Kali
ini gue mau ngomongin apa yang telah gue lewatkan dimasa itu, dirumah itu
Sebelum gue lahir, sekitar tahun 1998 abang gue yang baru
berumur setahun tinggal sama emak bapaknya di sebuah rumah di jalan rawa
kalong, Bekasi. Betul, saat itu lagi terjadi kerusuhan 98’ mahasiswa turun ke
jalan melakukan aksi demo kepada Soeharto yang pada saat itu menjabat sebagai Presiden setelah 30
tahun agar diturunkan. Salah satu dampak terbesar kepada Indonesia yaitu krisis
moneter. Saat itu masyarakat pribumi menjarah toko-toko milik etnis Cina, ada
yang membawa televisi, kulkas, hingga AC. Orang tua gue gak ikutan karena punya
anak yang harus diurus, kayanya sih gitu. Ketika semua orang membawa barang-barang berharga,
tetangga keluarga gue baru pulang membawa jarahannya, bukan televisi, ataupun
kulkas, apalagi AC, tapi susu formula. Entah mereka ini telat dateng atau
terlalu baik, jadi biar barang elektronik buat orang lain aja, tapi yakali
orang baik kok mencuri? Tetangga yang bawa jarahan berupa susu formula itu
dibagiin ke tetangganya, which is salah satunya keluarga gue. Ibu gue tentu saja menolak itu, gak barokah katanya.
Gue dengar dari Stand up-nya Pandji Pragiwaksono tentang
kerusuhan 98’, ada kejadian orang yang mengambil kulkas ternyata gak punya
listrik yang cukup buat menggunakannya. Alhasil kulkas tersebut jadi lemari
baju, buka kulkas tiba-tiba ada Es Baju, gimana coba? Bahkan yang mengambil AC
ada yang kompresornya gak dibawa.
Karena punya rejeki lebih, keluarga gue memutuskan untuk
pindah rumah ke komplek polimer tepatnya di blok B nomer 41. Karya kolaborasi
terbaru mereka di tahun 2001 pun terbit, yaitu gue.
Komplek jadi tempat gue bermain, rumah jadi tempat gue
pulang. Sekolah pun sama menyenangkannya ketika gue berada di rumah. Jadi yang
bisa gue ingat tentang apa yang terjadi selama itu adalah hal-hal yang bikin
gue bersyukur tinggal disitu.
Gue ingat saat itu perjalanan pulang kerumah hujan deras. Gue dan Adiez bareng-bareng naek sepeda, sepatu dimasukin ke kantong kresek
biar besok masih bisa dipakai. Sampainya di komplek kami memutuskan untuk diam
dulu di kantor RW. Karena terasnya licin dan luas, akhirnya kami berseluncur sepanjang
teras sambil menunggu hujan benar-benar berhenti.
Gue ingat setiap jam 6 pagi bangun dari kasur, lalu pergi ke ruang tengah untuk nonton Tsubasa Road to 2002 di ANTV. Setengah jam kemudian, gue siap-siap buat sekolah agama yang letaknya di masjid sebrang rumah. Siap-siap disini artinya bukan mandi terus pakai baju yang baru aja disetrika, terus bawa tas yang udah disiapkan malam sebelumnya, bukan itu. Tapi, masuk kamar mandi, terus bengong bentar, abis itu gosok gigi, pake baju muslim bekas kemaren, terus bongkar tas sekolah mengganti buku pelajaran sama Alquran, nonton spongebob bentar, baru deh ke masjid. Setiap jam istirahat selalu kami pakai untuk main bola, jadi gak heran kalo tiap ngaji agak bau daki basah sama bikin mata pedih.
Gue ingat setiap pulang sekolah jam 5 sore, gue buru-buru
ganti baju, pakai baju Manchester United terus pergi main bola di lapangan
komplek. Entah kenapa gue lebih suka jadi kiper, enak aja gitu kerjaanya cuma
nangkep bola, kalaupun kebobolan bisa nyalahin bek atau pemain belakang, dan
kalo lagi nyerang ke daerah lawan, gue bisa santai melipir beli teh sisri.
Bukan wasit yang bisa memberhentikan permainan, tapi adzan magrib. Abis itu
ambil sarung pergi ke masjid. Apalagi kalo bulan puasa, pulang kerumah sambil
bawa bakwan sama es cincau.
Selain main bola, gue dan teman-teman lainnya suka main
robot-robotan di teras rumah. Biasanya kami main drama tentang Power Rangers.
Gue tentu saja jadi ranger merah, Tengku jadi ranger putih, Bimo yang
ngendaliin robotnya, dan Devano yang suka kami paksa untuk jadi monster, apes abis.
Bagi yang belum tahu, gue dan Tengku bahkan sampai hari ini kami masih berteman baik. Kami dulu di kelas yang sama, rumahnya pun cukup dekat. Tiap sekolah suka berangkat dan pulang bareng, tiap istirahat kami makan mie gelas, tiap di kelas kami suka bengong memperhatikan perempuan primadona yang kami taksir. Tepat sekali bagi kalian yang udah baca Pindah mereka adalah Dinda & Ayla.
Kadang tiap pulang sekolah Tengku dan Rahmat teman kami yang lain, rumahnya gak jauh dari Polimer, suka mampir kerumah dulu buat main dan suka diberikan lelucon khas bapak-bapak oleh the one and only bapak Jackie Chan. Salah satunya gini nih “pelajaran apa yang bikin serem?.” Tanya bapak.
Rahmat jawab mantap “IPS pak, Ilmu Pengetahuan Setan…”
“Salahhh... kamu ngomong setannya jangan sambil ngegas gitu atuh”
kata bapak sewot. Tengku memainkan dagunya sambil melihat-lihat ke atas “hmm,
apaan emangnya pak?”
Bapak menghela nafasnya sebentar, matanya merem, kemudian melotot terus bicara menggunakan suara lantang dengan satu tarikan nafas “Matimatiannn...”
Gue diam, Tengku diam, Rahmat ketawa ngakak “hahaha lucu banget pak.”
“Haha gue gitu loh.”
Kata bapak sambil berkacak pinggang “kok kalian gak ketawa? Gua jitak miskin
lu.” bapak gue langsung masang kuda-kuda. Daripada durhaka terus dikutuk jadi samsak, akhirnya gue juga ikutan ketawa.
Jokes itu sebenernya udah sering dipakai ke teman-teman
komplek yang lain.
Bapak gue punya kemampuan komunikasi yang bagus, gak heran
kalo dia jago nawar. Dalam menyampaikan sesuatu apa yang diucapin itu lancar
dan tersusun rapih. Mungkin terlatih dari pekerjaannya saat itu sebagai Human
Resource Departement. Tetangga yang lain pun suka dengan adanya bapak gue,
hingga dipilih menjadi ketua RW disana. Program-programnya juga terlaksana
dengan baik kaya kerja bakti, agustusan, dll. Ibu gue juga secara otomatis jadi Ibu
RW, dan juga terpilih menjadi Ketua PKK atau Pemberdayaan Kesejahteraan
Keluarga, sibuk banget dah kaya ngurusin posyandu, terus ngasih penyuluhan gitu
ke warga.
Sibuknya ibu gue kesana-kemari buat menerima informasi dari
kepala daerahnya terus disampaikan ke warga polimer, berdampak ke ade gue yang
umurnya baru sekitar 2 tahun, dengan terpaksa harus dititipin ke tetangga. Suatu malam gue yang
lagi tidur, tiba-tiba dibangunkan oleh teriakan ibu, karena ade gue jatuh
pingsan. Bapak gue yang masih pakai stelan tidur, langsung lari-larian bawa ade
ke tetangga yang profesinya itu dokter. Bayangin deh! ade gue yang masih kecil
udah 2 kali dirawat di rumah sakit. Ibu gue sampai menaruh beberapa bawang
putih disekitar rumah, hingga manggil
‘Orang Pintar’ buat dateng ke rumah. Karena saking pintarnya, sehabis dia membaca sesuatu dan menyemburkan butiran-butiran air, dia sampai ngerjain pr matematika gue.
Ibu memang sudah dari dulu ingin mengundurkan diri dari PKK,
gak tega melihat anaknya yang masih kecil ada di tangan orang. Setelah kejadian
itu, gak lama kakek gue di Garut lagi membutuhkan bantuan di kantornya.
Seperti yang ada di kalimat awal tulisan ini, satu kalimat
yang bapak ucapkan di malam itu “Kita akan pindah rumah”
Itulah, sumber dari segala awal.
Semua yang terjadi saat itu seakan slow motion. Gue ditengah
permainan Yu-Gi-Oh! kartu-kartu ditangan gue jatuh perlahan, terhempas ke
lantai, ibu gue yang berdiam diri di pojokan, abang gue bilang “tidakkk…..” sambil
menjulurkan tangannya, terus ade gue yang lagi handstand, gak deng bercanda, yakali.
Anyway, kembali serius, ekhem. Kaget bukan main, semua
pertanyaan muncul dari kepala gue. Kenapa bisa begitu? Lho kok tiba-tiba
ngomong gitu sih? Gue harus ninggalin temen-temen gue gitu? Emang disana ada
apaan dah? Bukannya lebih seru disini ya? Belum tentu bahagia kali kalo pindah
ke tempat yang baru, ya kan? Apa ibu kota Kalimantan Timur? Gak deng bercanda,
elah.
Kali ini beneran serius, ekhem. Kalo bisa kabur, gue kabur
deh, pikiran gue saat itu. Tapi apa daya anak SD bertahan hidup tanpa rumah,
emak, bapak. Gue pulang sore aja, udah kangen makan mie tek-tek buatan nyokap. Gue sampai nanyain rumah
teman-teman, ada yang mau nampung gue gak. Tentu pada menolak semua dong.
Gue pindah, rumah gue pindah, teman-teman gue juga
berpindah. Berharap rasanya sama kaya Polimer.
Garut adalah kampung halaman gue, keluarga besar semuanya
tinggal disana, alangkah baiknya jika
orang tua gue juga ikut berkumpul, menurutnya. Awalnya gue tinggal di rumah ibu
gue kecil dulu, di jalan karacak ada sebuah warung gede tiga lantai, sebelahnya
ada gang. Nah harus masuk gang dulu, terus belok kiri, belok kanan, kiri lagi,
kanan lagi, lurus dikit, belok kiri abis itu belok kanan, terakhir belok kiri, sampai deh
ke rumahnya. Langsung depan mata sawah luas banget. Cuman gak lama, akhirnya gue
pindah lagi, tetap di jalan karacak cuma kali ini gak masuk gang, tapi sebelum
masuk gang itu. Rumah gue di warung gede tiga lantai itu, deket banget sama
jalan raya. Udah jadi backsound rumah tiap hari dengar suara motor dengan
knalpot yang norak, bising banget men.
Sudah hampir 10 tahun sejak gue pindah. Ternyata rasanya gak
sama, gak mungkin bisa sama.
Terakhir gue ke Polimer itu sekitaran Maret 2021, ibunya
dari temannya abang gue waktu SD meninggal dunia. Jam 8an kami mendapatkan
berita tersebut, jam 10 udah berangkat, dan sampai sekitar ashar. Sebenernya Bapak gue
menolak untuk kembali ke Bekasi karena mungkin banyak hal yang gaenak yang
mungkin pengin dia lupain, dan berhubung keluarga temannya abang gue sangat baik kepada kami, akhirnya semua berangkat. Tanggung kan udah di bekasi, sikat aja sekalian. Kami memutuskan
untuk mampir sebentar ke Polimer setelah hampir 10 tahun gue pindah.
Tidak banyak yang berubah dari polimer, suasananya masih
bikin gerah, rumah-rumahnya masih sama persis, warganya beberapa masih tinggal disana. Namun,
gue gak menemukan teman-teman gue disana. Komplek sepi banget saat itu, gue
cuma ketemu beberapa orang aja, salah satunya namanya Dandy. Dia bilang kalo
Polimer sekarang beda kaya dulu, katanya sekarang udah kaya kota mati.
Bukannya komplek itu rame ya, banyak teman, sering ngumpul?
Lho kok sekarang jadi sepi banget? Mungkin mereka melakukan apa yang sama
persis gue lakukan di 10 tahun lalu yaitu, pindah. Semakin kita tumbuh, sekolah
kita juga berpindah, lingkungan kita juga berpindah, teman pun juga berpindah. Dengan
suasana yang beda, referensi yang beda, pandangan yang beda. Perpindahan ini
menjadikan kita manusia seperti sekarang ini.
Gue berpamitan ke guru gue di sekolah agama, terus Mas Eda teman
gue dengan perbedaan umur 9 tahun, Nada teman kecil gue dengan tanggal lahir
yang sama yaitu 2 Desember, terus ibu-ibu komplek, dll.
Habis dari sana, makan di ayam bakar kalasan, langganan kami
dulu. Anak dari pemiliknya satu SD bareng abang gue. Terus pesan 5 martabak
unyil, 3 dimakan 2 sisanya kasih saudara yang di Garut. Kemudian melewati tempat yang
pernah gue datangi dulu, kaya Sanjai toko mainan, BTC Mall jalan-jalan, Pasar
Rawa Kalong yang tiap minggu pagi wajib kesana, Rumah Sakit Sentosa tempat ade
gue dirawat dulu.
Komentar