SAT SET SAT SET
Menjadi siswa kelas satu SMP dengan karakter susah bergaul
sama orang paling males adalah ketika pertama masuk sekolah harus melewatkan dulu yang namanya Masa
Orientasi Peserta Didik (MOPD) atau gampangnya pengenalan lingkungan sekolah
lah.
Malesnya jaman MOPD kita disuruh bikin macem-macem benda
yang akan membuat gue menjadi gembel selama tiga hari. Pertama, mahkota
raja dari karton. Beruntungnya karena kreatfitas gue sangat kecil, sekecil inti atom maka ketika gue lagi main kerumah saudara dan cerita kalau sebentar
lagi akan ospek, bibi dari bapak gue berprofesi sebagai guru SD dengan sangat
baik hati membuatkan gue mahkota dari karton tersebut. Setelah menggunting,
mengelem, dan mengukur kepala, mahkota tersebut jadi. Hasilnya mahkota dengan
karton biru muda lengkap dengan aksen orang-orangan yang terbuat dari kertas
warna merah saling bergandengan tangan, entah apa maksudnya mahkota gue
ditempelin orang-orang botak warna merah yang bergandengan, apakah salah satu
sekte tuyul merah, gue gak ngerti. Kedua, tas kardus. Benda yang paling aneh
dan yang paling bikin malu-maluin kalau lagi didalam angkot karena bentuknya
paling besar dan mencolok, barang yang lain lebih gampang untuk sembunyikan.
Untungnya abang gue masih nyimpen tas kardusnya yang dia pakai saat ospek di
SMP yang sama dulu. Bedanya muka abang gue ganteng, orang lain mungkin
menganggapnya sebagai gembel yang ganteng. Lalu yang ketiga adalah name tag pada umumnya ukurannya sekitar
dada terbuat dari karton dan tali rapia, udah kaya narapidana. Terakhir adalah
sepatu, talinya harus diganti dengan rapia. Semuanya nyebelin dan sukses bikin
gue jadi keliatan kaya pemulung .
Ruangan kelas untuk anak kelas dua sementara di pakai untuk
siswa baru selama masa MOPD terletak di bangunan paling belakang. Gue tergabung
dalam kelas F berada di kelas paling pojok lantai dua. Saat itu rasanya enggak
canggung-canggung banget karna ada beberapa orang yang gue kenal di SD ada di
kelas MOPD yang sama. Salah satunya adalah Dafi, orangya lebih pendek dari gue,
rambutnya spiky keatas, jago main gitar. Karena bingung mau duduk dimana,
sementara bangku belakang sudah terisi. Gue sama Dafi cuma bisa liat-liatan dan
terpaksa kami semeja di jajaran paling depan.
Bisa disadari ketika melihat cewe cantik waktu jaman
orientasi sekolah walaupun terpaksa berdandan seperti gembel tapi karena pada
dasarnya cewek itu cantik maka tidak akan merubah pandangan kita bahwa cewek cantik ketika orientasi sekolah akan jadi buruk rupa, tapi akan menjadi, gembel yang
cantik. Gue melihat itu di Almira, putih seputih kain kafan, hidungnya mancung
seperti orang Arab, giginya putih mengkilap ketika senyum. Di name tag merah mudanya tertulis SDN
REGOL.
Di hari pertama ospek, karena gue duduk di depan. Gue yang
lagi nyuri-nyuri pandang sesekali nengok kebelakang buat ngeliat matanya yang
lentik. Melihat gue yang tidak fokus, akhirnya Panitia OSIS menggunakan
kesempatan itu dengan menjadikan gue sasaran empuk buat dikerjain. Gue disuruh
ngegombalin orang. Kalo Almira sih gapapa ya, walaupun awalnya bakal pipis
dicelana dulu karena gugup, tapi kan jadi bisa langsung kenalan. Tapi ternyata
bukan dia, bukan sembarang orang, bukan manusia normal, melainkan gue disuruh
buat ngegombalin si Dafi. Entah berapa banyak cewek di kelas itu yang
melindungi diri agar tidak muntah darah ketika melihat gue. Kakak osis yang
cewek juga seharusnya bisa menjadi pilihan buat gue gombalin. Apesnya disuruh
buat ngegombal cowo pendek dengan berambut tajam dan jika tidak membuat dia
terkesima, gue harus bersiap-siap menghindar jika rambut runcing itu akan menusuk-nusuk gue. Tamatlah sudah masa indah Sekolah Menengah Pertama di hari
pertama.
Karena gak dikasih pilihan lain dan jijik ketika orang yang
gue gombalin adalah cowok. Gue dan Dafi dipersilahkan untuk berdiri didepan
kelas oleh Panitia OSIS kampret. Gue diam, nengok keatas, mencoba
nginget-nginget gombalan basi ‘papa kamu…’ yang sering gue liat di Tv. Sekitar
sepuluh detik mikir apa kalimat yang tepat untuk manusia bercula satu ini. Gak
mungkin gue bilang “Papa kamu punya tanduk ya?” Terus gue jawab “Karena kamu
telah nyeruduk-nyeruduk hatiku.” Geli abis dan kalaupun itu terjadi akan gue
lanjutin dengan “Aku lagi di UGD sekarang, liverku bolong” Karena Gak berhasil menemukan apa
yang sesuai, kemudian gue bilang ‘Papa kamu Polisi ya?’ kata gue datar.
“Kok tau?” Kata Dafi pasrah.
Gue diem sebentar, pikiran gue memberi perintah, jangan
ucapkan karena kamu mencuri hatiku, geli. Panitia OSIS heran kenapa gue jadi nge-bug. Semua orang melihat gue bingung. Gue menoleh ke Almira melihat
apakah dia memberikan respon yang sama. Ternyata tidak, dia tersenyum manis
banget, giginya mencerahkan mata gue, entah karena melihat gue atau melihat
Panitia OSIS kampret ganteng itu yang ada disebelah gue. Tapi berkat senyumnya,
gue jadi geer, gak akan gue biarkan gombalan maut ini untuk Dafi kampret.
Beberapa detik kemudian, AHA… lampu terang kepala bersinar, gue diberi mukjizat
untuk membuat ini jadi bercandaan aja, melanjutkan gombalan tadi dengan harapan
semoga Dafi tidak naksir dan gue tetap cowo normal yang suka cewe. Maka dengan
lantang gue bilang “PANTESAN AJA TV GUE ILANG”
Almira tertawa.
Lanjut dengan “WAHAHHAHAHAAAA….” Dari seisi kelas ketawa
sampai mau meninggal. Oke itu agak lebay. Setelah selesai dengan perutnya yang
sakit akibat tertawa, Panitia OSIS menyuruh gue dan Dafi duduk kembali. Fyuh,
gue menyeka keringat di dahi. Gombalan maut gue untuk Almira yang entah kapan
itu bisa selamat berkat senyumnya yang entah kesiapa itu juga.
Anehnya, karena gombalan tadi, gue ditunjuk jadi Ketua
kelas. Fenomena yang tidak lazim untuk pemilihan Ketua kelas dari ngegombalin
orang. Gue cuma bisa geleng-geleng menolak tawaran itu. Selanjutnya memilih
untuk wakil ketua. Panitia OSIS yang ganteng itu memperhatikan murid satu
persatu. Dia berjalan ke ujung kelas, jari-jarinya memainkan sedikit jenggot
didagunya sambil liat kanan kiri dengan seksama, ketika putar balik, dia
berjalan tidak ke ujung kelas, dia berhenti tepat disamping bangkunya Almira “Dia
yang jadi wakil ketua kelas ini” sambil menunjuk ke atas kepalanya. Gue yang
masih geleng-geleng berubah menjadi ngangguk-ngangguk. Tapi dalem hati gue “hmmm
kampret, triknya boleh juga biar gampang dapet pin BBM-nya” pikir gue yang
belum tentu benar.
Dari depan pintu kelas datang seorang Panitia gemuk memegang
HT “Iya ini gue udah di kelas F” Panitia ganteng berikut Panitia lainnya
menengok ke arah depan pintu. Merasa akan ada sesuatu kemudian Panitia gemuk
masuk “Hei, udah waktunya” Panitia memberikan perintah kalau kita harus segera
dikumpulkan di GOR untuk pemberian materi. Kami keluar baris sesuai gendernya,
ketua dan wakil ketua harus ada di depan. Meskipun cuma berdiri sebelahan
rasanya udah kaya mau gue samperin bapaknya minta ijin kalo anaknya mau saya
ambil, pelet saya kebetulan mahal. Kampretnya, gue terlalu gugup, mulut gak
bisa mengeluarkan apa-apa selain “lencang depan gerak!” dan “baris yang bener”
padahal Almira tepat disebelah kanan gue, tinggal diajak kenalan.
Seperti pada masa orientasi sekolah lainnya ketika pemberian
materi pasti boring dan bikin ngantuk. “Jadi begini”, “Iya Begitu”, “Gitu ya
anak-anak” kata wakil kepala sekolah dengan rambut yang jarang-jarang dan buncit berjarak sekitar 5 meter
dari panggung. Lagi-lagi gue duduk sila persis sebelahnya adalah Almira, tetep
aja mulut dan hati tidak saling kerja sama saat itu. Materi selesai, hari
pertama berakhir.
Hari kedua dibuka dengan upacara yang dilaksanakan oleh
siswa baru. Salah satu orang dikelas gue terpilih sebagai Pembaca Doa. Gue
bingung, kalau terpilih kira-kira gue sebagai apa. Pemimipin Upacara? Gak
mungkin, keburu keringet dingin dan akhirnya pingsan di gotong PMR. Pembaca UUD
1945? Gak bisa, suara gue cempreng dan belibet. Pasukan Baris-Berbaris? Hancur
udah, jalan gue kaku kaya robot, bisa-bisa karena tidak selaras jadi ada yang
tertabrak dan gak sengaja narik celana gue sampe melorot. Setelah itu, siswa baru kembali
dikumpulkan di GOR untuk materi yang (masih) bikin gue bosen. Lalu diadakannya
game yang dibuat oleh panitia OSIS menggunakan banyak balon yang berisi
pertanyaan yang harus dijawab. Biasa saja, gak ada yang menarik. Kecuali Almira
yang masih belum gue ajak kenalan.
Hari ini adalah hari dimana semua siswa baru menentukan
siapa yang memiliki bakat harus ditunjukan dalam sebuah acara klimaks MOPD
yaitu Pentas Seni yang akan akan diadakan pada hari terakhir besok. “Siapa
disini yang mau tampil di Pensi nanti?” kata si Panitia ganteng. Gue Cuma bisa
nengok kanan-nengok kiri. Gue merasakan tidak punya bakat apa-apa. Keahlian gue
selain tidur siang adalah kalau naik sepeda gue bisa lepas tangan. Gak mungkin
juga gue unjukin ke banyak orang kalo gue tidur sambil naik sepeda dan lepas
tangan. Tiba-tiba disamping gue Dafi mengangkat tangannya “saya bisa main gitar
kang.” Kata dia percaya diri. Baguslah gue tidak perlu cape-cape bawa sepeda ke
sekolah.
“Okeh, ada yang bisa nyanyi gak disini?” kata Panita yang
berkerudung. Hening tidak ada yang menjawab. “Gak seru dong kalau main gitar
doang mah.” Kata Panitia ganteng. Bener juga, terakhir gue nyanyi di kamar
mandi, cermin gue meledak. Tak lama kemudian dari arah suara dibelakang gue
“Saya aja deh kang” Raisa mengangkat telunjuknya keatas. Raisa ini satu SD
dengan gue, namun dia di kelas B dan cukup aktif di paduan suara. “Fix kalian
berdua aja ya yang tampil di Pensi.” Kemudian Raisa dan Dafi memisahkan diri
untuk berdiskusi lagu apa yang akan dibawakan.
Hari terakhir MOPD, kabarnya hari ini akan berlangsung cepat
jadwalnya hanya ada pembagian hadiah dan Pensi. Kemudian siswa dipulangkan dan panitia
lain akan mempersiapkan segala sesuatu untuk acara nanti malam yaitu akan
diadakannya MABIT artinya Malam Bina Iman dan Takwa. Intinya kita harus
menginap di sekolah. “Yang mau ikutan mabit nanti sore, kasih tau teteh ya!”
Kata Panitia OSIS berkerudung.
Sebenarnya mabit
acara yang gak diwajibin, siapa aja yang mau ikutan, boleh. Orang-orang dari
kelas gue kebanyakan gak pada ikut dengan berbagai macem alesan. Ada yang gak
diijinin orang tuanya, rumahnya jauh, gak ada yang ngejagain, dll. Gue yang sedang
menyuruh orang-orang untuk segera pergi ke GOR. Semua orang satu persatu
melewati gue. Kemudian Raisa datang menghampiri “Ram, ikut mabit gak?”
“Eh, euh, enggak nih kayanya, males, hehehe.”
Raisa memberikan gestur mengajak pergi bareng ke GOR. “Yah,
Okeh deh. Btw, lo jadi agak berubah gitu ya, beda pas kita SD” Kata Raisa
santai. Raisa memiliki gaya bahasa yang sama persis dengan gue. Dia adalah
gadis tomboy kelahiran Makassar dan dibesarkan di Jakarta kemudian kelas enam
SD dipindahkan ke SD gue ke kampung halaman orang tuanya. Setau gue banyak
saudaranya yang tinggal disini juga.
Gue melihat dia yang sedikit mengangkat kepalanya agar bisa
melihat gue dengan jelas “Berubah gimana?” kata gue.
Raisa membalikkan badannya lalu memandang ke langit-langit
“Hmm… jadi makin diem gitu.” Kata Raisa.
Ada keheningan yang cukup panjang diantara kami.
Sepertinya apa yang gue lakukan dulu beritanya menyebar
hingga ke kelas B. Gue cukup sering di ajak bermain futsal dengan anak-anak
kelas B. Lucunya di kelas gue banyak yang diantar oleh orang tuanya bahkan
hingga ditungguin sampai kelas selesai sampai gue cukup hafal beberapa orang
tua anaknya yang mana. Berbeda dengan kelas B, gue perhatikan rata-rata pada
berangkat sendiri begitupun ketika study
tour hampir semuanya tidak mengajak orang tuanya masing-masing cukup
ditemani dengan wali kelasnya.
Rambut yang diikat kebelakang dengan warna yang terlalu
hitam dari rambut pada umumnya membuat gue berfikir rambut yang telah dia cat
sepertinya tidak segera menghilang sebelum MOPD. Tangannya bergantian kedepan
dan kebelakang, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri seperti ada lagu yang
sedang bermain dikepalanya. Dari ujung jalan menuju lantai bawah, gue
mendahului dia, lalu merosot turun melalui pegangan tangga. “Biasa aja ah, tapi
emang lo ikutan mabit?” Tanya gue
memecah keheningan.
Dia melihat gue meluncur, dari sorot matanya terlihat bahwa
dia ingin sekali mencoba “Gue kalo sendirian juga males” wajah nya berubah
menjadi senyum “Tapi katanya Almira ikut, jadi gue ikutan juga deh.”
Beberapa siswa lain jalan terburu-buru melewatinya. Gue
santai aja menunggu dia berjalan menuruni anak tangga. “Almira ikut?” kata gue.
Setelah gue dengar dari Raisa kalau Almira ikut, maka gue jadi antusias pengen
ikutan Mabit.
“Katanya sih gitu” Kemudian pundaknya menyenggol badan gue.
”Hmm… kenapa? Suka lo ya? hahaha” kata dia tertawa kecil.
Kami berdua berjalan di lorong yang mengarahkan kami pada
pintu Gor. Kami dilewati beberapa siswa lain, sepertinya sudah dimulai. Lalu gue
senyum tipis “Kaga, yakali.” kata gue bohong.
“Yeh, senyum-senyum. Pas materi kemaren sama guru yang botak
itu, dia curi-curi pandang ke lo tau.”
“Yang begini-begitu ya
anak-anak?” Tanya gue mengulang kalimat yang sering diucapkan si guru
botak.
“Iya yang
begini-begitu ya anak-anak” Kata dia mengulangi kalimat gue.
Disebelah kanan terlihat dua buah pintu kaca gelap tertutup
rapat. Ada beberapa Panitia OSIS sedang mengobrol di bangku dekat GOR. Ada yang
ngomong sendiri sambil megang kertas. Ada yang berada diruangan sebelah GOR
terlihat sedang menghitung piala-piala.
Kami berdiri tepat di depan pintu. “Udah, nanti gue kasih
tau deh kalo lo suka sama dia” Kata Raisa yang kemudian pergi membuka pintu.
“Eh, bentar-“Kata gue terpotong, Raisa telah bergabung
dengan yang lainnya. Gue jadi gak enak hati, orangnya udah keburu pergi. Gimana
kalo beneran dia kasih tau? Gimana kalo dia tau? Gimana kalo dia jijik sama gue
terus pengen ngeludahin tas kardus gue? Ini gak nyambung btw. Gimana kalo dia
dulunya preman? Gimana kalo dia sebenernya pacarnya Aliando? “Gimana kalo dia
dulunya itu laki-laki?”
Bukannya gue gak suka, menurut gue aneh belum kenal satu
sama lain udah langsung ngomong Dia suka
sama lo. Kenalan aja belom. Apa itu yang sering terjadi sekarang? gak perlu
tahap pengenalan dulu, tau tentang diri satu sama lain dulu untuk bisa menjalin
hubungan. Kalo ternyata setelah itu kita kawin dan ternyata gak cocok gimana?
Okeh ini udah ngayal ketinggian. Gue yang masih diem didepan pintu. Tiba-tiba
gue denger suara cukup keras dari arah OSIS yang sedang duduk-duduk “Kok masih
disini? MASUK!” Tegur Panitia Osis dengan rambut yang dicukur botak. Sebelum
badan gue disundul lalu tulang rusuk jadi menjorok kedalam, gue buru-buru
masuk.
Setelah pembagian hadiah untuk macem-macem nominasi kelas.
Kami dipersilahkan untuk berdiri mendekat ke arah panggung oleh MC-nya. Pensi
pun berlangsung meriah. Ada band sekolah dari kakak kelas tampil mengisi acara.
Ada yang menari tradisional, duet berdua nyanyi, atau gitaran sambil nyanyi. Beberapa
orang terlihat antusias sampai rela berdiri didepan panggung, tapi ada juga
yang duduk-duduk di samping, ada juga yang duduk di pojokan. Gue memilih untuk
berdiri dibelakang dengan segelas teh botol yang habis gue beli.
Giliran kelas gue tampil, Panitia OSIS yang ganteng
memberikan arahan agar siswa kelas F kumpul di depan panggung. Dafi dan Raisa
beranjak keatas panggung memainkan lagu tradisional Sunda Manuk Dadali. Mata fokus kearah panggung, tapi pikiran gue entah
mengawang kemana. Rasa dingin campur manis menjalar masuk ketenggorokan. Susah juga ya ternyata kenal orang baru setelah
kesotoyan yang telah gue lakukan sebagai orang baru di kota ini, gue jadi sulit
ngobrol sama orang. Sedotan yang terus gue gigit, gue yang dulu kemana ya? Orang tengil supel ke semua orang.
Lagu terus bermain.
Hirup sauyunan tara
pahiri-hiri
Silih pikanyaan teu
inggis bela pati
Gue yang lagi asik-asik bengong tiba-tiba pundak gue di
tepok “Woy, kenapa disini kan udah disuruh kedepan?” Kata si Panitia ganteng.
“Hah, euh, oh, iyaa kang” jawab gue kaget tiba-tiba di tepok
dari samping.
Kemudian dia mengubah posisinya jadi berdiri bersebelahan
dengan gue menghadap panggung. Tiba-tiba tangannya merangkul pundak gue yang
baru aja gue pengin pergi kedepan “Bentar-bentar, lu suka sama dia yee…?” kata
si Panitia ganteng. Gue hanya bisa mangap-mangap gak jelas maksudnya apaan “Hah
apa? Siapa kang?
“Udah jangan boong. “ Telunjuk kirinya mengarah kedepan,
matanya di tutup sebelah fokus ke arah yang dia tuju “Itu, si Almira.”
“UHUKKK…” Hampir aja teh yang gue minum gak muncrat ke
mukanya. Ini panitia apa dukun, kok dia bisa tau. Tapi gue males sebenernya di
todong begini “Almira siapa yang mana kang?” kata gue boong.
“WAHAHA, itu bego wakil elu” kata si Panitia Ganteng sambil
menggoyang-goyangkan badan gue.
Dengan badan gue yang bergerak kesana kemari membuat gue
jadi risih sama si Panitia tapi pasrah gak bisa ngapa-ngapain dengan harapan
gue batuk lagi tapi cairan yang keluar kali ini dari hidung jadi bisa langsung
gue semprot ke mukanya. “Oh iya…iyaa… cukup kang cukup...” Gue coba ngejauhin
badan gue supaya bebas dari rangkulannya.
Dia nengok kearah muka gue, gak berani buat gue liat balik
cuma bisa ngejauhin sedikit muka gue dari tatapan tajemnya. “Sebagai kakak
kelas yang baik gue kasih tau cara deketinnya gimana.” Kata dia sambil menahan
kuat rangkulannya. Muka gue langsung memasang muka fokus “Wah gimana tuh kang?”
Kata gue malah jadi penasaran. Gue meniup nafas panjang, mengosongkan pikiran,
telinga siap menyimak.
“Gampang, pas ntar mabit nih, lu samperin dia, lu tatap
matanya, kasih tau siapa nama lu, terus sat set sat set deh.” Kata si Panitia
Ganteng dengan nada santai.
“Sat set sat set?” kata gue bingung.
“Iya sat set sat set masa gitu doang kaga ngarti.”
“Sat set sat set apaan?”
“Ya Allah… lo jarang buka
instagram ye?” kata dia menaikan nada bicaranya. “Pantesan aja lu cupu” Dia
melanjutkan kalimatnya sambil ngelepas rangkulannya dari pundak gue. “Pokonya
udah tinggal sat set sat set jadian deh.” Nadanya terdengar buru-buru. “Percaya
ama gue, jangan sampe gue yang maju nih, gue udah dapet pin BBM-nya wahahaha…”
kemudian dia pergi keluar GOR menyambut Dafi dan Raisa yang baru saja selesai.
“Anjay, kok dia bisa tau kalo gue
naksir? Apakah selain jadi Panitia Osis dia bekerja paruh waktu sebagai Dukun?”
pikir gue dalam hati melihatnya keluar dari GOR.
Setelah itu, kami diperbolehkan pulang setelah selesai Adzan
Dzuhur. Seperti biasa gue cuma bisa diam diangkot duduk di dekat pintu keluar.
Salah seorang ibu-ibu` terlihat menawan ketawa melihat tas kardus yang gue
simpan dibawah. Mahkota yang masih gue pakai buru-buru gue lepas. Dalam angkot
cuma ada gue, ibu itu, dan dua anak SD yang duduk di pojok belakang. Gue gak
berani liat muka anak-anak SD itu, gak mau satu angkot jadi ngetawain gue, lalu
gue dihibur sama kang supir.
Matahari cukup terik siang itu, sampai-sampai pantulan
cahaya dari jendela ke tempat duduk sangat terang. Jalanan tidak kalah
terangnya gue perhatikan. Gue mengingat-ngingat apa yang tadi dikatakan oleh
Panita OSIS ganteng, Bingung apa yang dia bilang soal sat set sat set. Lebih bingung kalo beneran Raisa ngasih tau kalau
gue sebenernya suka sama dia.
“Kiri” kata gue kepada kang supir. Gue diturunkan di trotoar
sebrang rumah gue yang terletak di samping jalan raya.
Tempat tinggal gue adalah rumah sekaligus warung berlantai
tiga dengan lantai dasar terbagi menjadi tiga bagian. Gerbang kanan adalah
garasi, tengah untuk akses masuk warung, kiri untuk kasir, dapur, dan ruang Tv.
Lalu lantai dua adalah tempat keluarga gue berkumpul. Terdiri dari kamar tidur
orang tua, kamar tidur gue dan abang, kamar tidur ade gue cewe, dan kamar
mandi. Lantai tiga adalah ruangan luas dan kosong hanya ada lantai kotor akibat
jarang dibersihkan, dikanan kiri kaca jendela berbentuk persegi panjang
vertical sekitar 5 buah , terdapat dua pintu disana, satu untuk gudang, satunya
lagi untuk jemuran.
Dengan rumah yang seaneh itu, gue diceritakan oleh nyokap
sebenarnya dulu itu untuk dibuat sebagai kantor, makanya lantai tiga dibuat
menjadi seluas itu. Namun karena tidak jadi , Maka tempat itu jadi warung yang
berrumah.
Seperti biasa ibu gue sedang melayani pelanggan di balik
etalase. “Ibu punteun, mau beli li-pe-boi.” Kata salah seorang teteh-teteh
dengan kaus merah menunjuk kebawah.
“Oh, iya sebentar.” Ibu gue menunduk “yang merah teh?”
“Iya bu, beli satu.”
Dari kejauhan gue melihat nyokap mengambil sebuah kotak
kecil dibawah etalase, lalu diberikannya ke teteh itu yang sudah dibungkus
kresek hitam. Teteh kaus merah memberikan uangnya. “Hatur nuhun ibu” kemudian
pergi.
Melihat gue masuk warung ibu gue memberikan pertanyaan aneh
“Eh ris udah pulang?”
Gue duduk di sofa depan Tv dan menaruh tas kardus gue di
samping, lalu bilang “Belom nih, masih disekolah.”
“Hahaha” ibu tertawa kecil, kemudian duduk disamping gue
kembali menonton sinetron India kesukannya yang tengah bermain.
Gue menyandarkan kepala. “li-pe-boi apaan bu? Emang disini
ada?” kata gue sambil ikut menonton sinetron India.
Ibu gue menekan lima kali tombol volume down dari remot hitam yang telah penuh lakban. “Itu ris…
sabun lifebuoy” jawab ibu gue dengan nada datar seakan tau bahwa dia sering
mendengar itu.
“Aneh banget jadi li-pe-boi kan diiklan nyebutnya laifboi” kata gue memasang wajah heran.
Setelah berbincang sedikit tentang MOPD hari ini dan memberi
tahu sebentar lagi akan mabit. Gue pergi keatas untuk bersiap-siap apa aja yang
harus dibawa yang telah gue catat di buku, seperti baju ganti, alat solat, alat
mandi, alat tulis, dan juga poster ‘Pray For Gaza’ yang telah gue buat malam
sebelumnya. Peristiwa Palestina memang sedang gencar saat itu, peperangan,
kematian, dll.
Setelah mandi, makan siang, dan mengecek kembali barang
bawaan. Tepat pukul 16.00 gue mencegat angkot yang mengarah ke sekolah. Kali
ini gue tidak memakai tas kardus dan mahkota kampret itu. Gue memakai kemeja
muslim abu-abu dengan luaran jaket hitam, celana jeans hitam, dan sepatu
Ardiles hitam dengan aksen merah. Semoga tidak akan ada lagi orang-orang yang
ingin ngetawain gue. Kecuali yang emang pengen ngetawain karena muka gue mirip
kaos kaki.
Gue cukup terkejut dengan cepat suasana sekolah berubah jadi
suasana yang islami banget, sajadah digelar di lapangan, lagu-lagu rohani
dimainkan. Banyak orang memakai baju muslim telah berkumpul di Gor, ada yang di
taman, dibawah pohon, dibawah ring basket, atau didepan kelas. Dafi tidak ikut
mabit, males katanya. Gue juga males, tapi yah demi kenalan sama orang, ekhm,
gebetan gue maksudnya. Akhirnya gue gabung sama salah dua orang dari kelas gue
yang cukup kenal karna sering ngebercandain guru buncit di GOR, yaitu Ilham dan
Abdul.
“Hayu duduk disana ah” kata Abdul menengok kanan ke arah
kursi yang terbuat dari semen menempel dibawah tembok dekat dengan ring basket.
Ilham menyanggupinya dan berjalan setelah Abdul sambil membenarkan kopiah
hitamnya.
“Iyaa iyaa bentar” Gue mengikuti dari belakang sembari
memperhatikan sekeliling mencari Almira sudah datang atau belum.
Dengan rasa canggung karna baru kenal tiga hari, Abdul
kembali membuka percakapan “Cara ngomong na beda nya, gak kaya kita”
“Iyah, orang sini bukan Ram?” Tanya Ilham.
“Euh, lahir disini tapi, euh, dibesarinnya sih di Bekasi.”
Gue grogi.
“Ohh gitu, eh, lucu pisan siah kemarin waktu ngegombalin,
siapa itu teh, oh si Dafi” kata Abdul dengan logat sunda yang kental.
“Hahaha, aing ge ketawa ngakak sama si Abdul.” Kata Ilham.
Baru gue sadari kemeja muslim berwarna biru mudanya dua kancing diatas tidak dia
kancingkan. Sampai kausnya berwarna putih kelihatan. Entah karena lupa atau
memang inginnya begitu.
“Hahaha” gue tertawa kecil. “Geli kan ya masa ngerayu cowo-”
Mereka berdua yang duduk disamping kanan gue terlihat tidak mendengarkan,
pandangannya ke arah gerbang masuk dengan memasang tampang terkejut sekaligus
mesem-mesem seakan ada sesuatu yang baru aja muncul.
Karena omongan gue yang tidak di diperhatikan, penasaran apa
yang sebenarnya mereka liat. Gue menoleh ke gerbang. Lalu waktu seakan berjalan
begitu lambat melihat dia masuk.
Almira dengan baju gamis panjang hijau tosca ditambah outer
panjang tanpa lengan berwarna krem berjalan memasuki gerbang. Krudung
krem model pashmina bertebaran kemana-mana ditiup angin. Lalu yang menariknya
adalah dia memakai sepatu kets putih ketika orang lain kebanyakan memakai flat shoes. Kami bertiga mangap
bareng-bareng mengikuti langkahnya berjalan masuk ke lapangan sekolah
menghampiri Raisa dan beberapa orang lainnya.
“Oh Tuhan, terima kasih telah mengirim perempuan indah ini
ke Bumi, mudah-mudahan mata dia rabun dan ketika melihat ku, tampangku seperti
Aliando di Ganteng-Ganteng Serigala. Yang rabun bercanda ya Tuhan, tapi kalau
dia bersama orang lain, semoga orang lain itu aku.” Ucap gue dalam hati.
“Anjay geulis gitu si Almira.” Kata Ilham dengan mulut yang
masih mangap dan alis yang terangkat.
Abdul memberhentikan tatapannya. “Heeh, ti SD ge geus cantik
kitu.” Kemudian tersenyum kecil melanjutkan kalimatnya “mantanna banyak.”
“Mantannya banyak?” Gue mengulang kalimat akhirnya. “Dia SD
udah pacaran berapa kali?” gue fokus menatap Abdul.
“Berapa yah” Abdul memainkan jarinya. “Empat atau tiga gitu,
mungkin”
“Anjir empat” Kata Ilham shock. Mungkin dia terkejut empat
adalah angka yang sangat menjatuhkan mentalnya, seperti orang yang belum pernah
mengenal pacar-pacaran. “Banyak pisan euy”
“Disini juga kayanya bakal populer deh.” Kata gue.
“Heem bakal populer.” Kata Abdul.
“Iyah populer.” Kata Ilham.
Kemudian kami bertiga sama-sama
menunduk.
Gila men, empat. Gue aja belom sama sekali, bahkan ngobrol
sama cewe aja jarang. Paling cuma latian ngobrol sama boneka Barbie ade gue,
itu pun ade gue langsung manggil nyokap minta buat datangin Ustad untuk di
ruqyah. Gue jadi pesimis, gak bisa, susah, baru masuk udah langsung Raja
Terakhir. Gue harus ngapain supaya bisa kenal? Oh Tuhan beri aku petunjuk.
“Kemarin kan si Kang Agan minta pin BBM-nya ke urang, karena
tau dulunya satu SD” kata Abdul datar.
“Yang ganteng itu?” Kata gue.
“Iyah nu ganteng” Kata Ilham.
Gue baru tau kalo namanya Agan, selama ini gue nganggepnya
cuma si Panitia Osis yang ganteng. Kapan dia perkenalannya ya btw? Apa telinga
gue aja yang kemasukan telor ayam waktu perkenalan jadi gak bisa denger?
Kemudian terdengar suara ibu-ibu dari speaker di lapangan
”SEMUANYA KUMPUL DI LAPANGAN SEGERA!”
Siswa-siswa duduk mengitari lapangan dan setiap orang
memegangi satu bendera Palestina dan satu lagi Indonesia. Gue yang bingung
kenapa yang ngeluarin poster dikit banget ya, dari satu lapangan, cuma tiga
orang yang bawa poster karton untuk Palestina. Ketika gue tanya Abdul dan
Ilham, mereka sama-sama gak bikin. Jadi malu juga gue kalau goyang-goyangin
sendirian poster yang udah gue bikin semalaman walaupun ada kesalahan typo yang
sudah dibenarkan. Seharusnya ‘#PRAYFORGAZA’ malah jadi “#PLAYFORGAZA”
Lagu memainkan We Will
Not Go Down-nya Michael Heart. Kami semua sing along menyanyikannya. Sering sekali lagu itu di putar
dimana-mana dari mulai Radio, televisi, bahkan sekarang di acara Mabit, untuk
memberikan secara tidak langsung dukungan kepada Palestina. Semua orang
mengibarkan bendera-bendera kecil itu keatas langit.
Acara berlanjut dengan mengobrol santai dengan para guru.
”Nanti malam kita ini, agendanya begini-begini, pulangnya jam segini” kata guru
yang menjadi penanggung jawab Mabit. Gue tidak memperhatikan, pikiran gue
mencari maksud dari sat set sat set
yang dikatakan Kang Agan. Gue memutuskan untuk mengajak bicara Almira malam ini
seperti yang Kang Agan bilang. Apa kalimat yang tepat untuk mengajak ngobrol
seseorang?. Gue befikir untuk ngasih tau nilai UN Bahasa Inggris gue, tapi
takut dikira sombong. Kalau nilai Matematika, gue takut dikira goblok. Gue
melihat Abdul mencolek Ilham terus berbarengan melihat gue, mereka mungkin berfikir gue yang lagi bengong
adalah bocah freak yang lagi melihat
pohon palem dengan serius.
Matahari perlahan kembali ke tempat asalnya. Kemudian,
setelah selesai solat magrib beberapa Panita OSIS membawakan dua kantong kresek
penuh dikedua tangannya, terlihat dikedua lengannya urat-urat bermunculan,
berusaha jalan secepat mungkin ke lapangan. Satu persatu kotak nasi di
estafetkan, ternyata isinya ayam geprek lengkap dengan nasinya. Setelah selesai
makan, waktu solat Isya baru aja mulai, salah satu Panitia OSIS mengumandangkan
adzan. Cukup ribet karena harus berjalan dulu ke masjid untuk berwudhu dengan
tangan yang bau sambel dan harus balik lagi ke lapangan. Gue ketinggalan serakaat, begitu gue masuk semuanya melakukan tahiyat
pertama. Lapangan sekolah gue cukup besar, shaf laki-laki masih kosong
sekitar tiga jajaran lagi, lalu shaf perempuan berada di belakangnya dengan
diberi batasan berupa tirai hijau panjang.
Agenda selanjutnya
adalah petuah-petuah yang akan diberikan dari Pak Aldes yang memperkenalkan
dirinya sebagai guru agama Islam. Kami semua duduk sila diperlihatkan cuplikan
melalui layar proyektor yang mengarah ke layar tancap memperlihatkan
korban-korban di Gaza sembari Pak Aldes menjelaskan apa yang sedang
terjadi. Gue tidak cukup mengerti akar dari permasalahannya saat itu, tapi gue
merasa kasihan melihat anak kecil terlihat dari ukurannya berumur lima tahun
harus berlumuri darah dari atas sampai kaki. Ini masalah orang dewasa, anak
kecil tidak ada sangkut pautnya dengan ini, pikir gue saat itu.
Tiba-tiba lampu mendadak mati disambung dengan suara
“Anak-anaku sekalian, bapak ingin kamu pejamkan mata kalian semua.” Kata Pak
Aldes lemah dan lembut. Gue memperhatikan ada siluet orang yang berdiri
ditempat tombol lampu berada. Tanpa tau apa-apa gue menuruti apa yang
dikatakannya.
“Ini ada apa sih?” kata gue bertanya ke Ilham disebelah
kanan.
“Engga tauh…” Kata Ilham bernada bisik-bisik.
Disebelah kiri gue Abdul dengan nada berbisik “Oh ieu mah
bakal malam renungan cenah.” Jadi malam renungan adalah ketika kita baru masuk
sekolah atau ketika akan menghadapi UN melakukan kegiatan refleksi, kesalahan
apa yang telah dibuat baik ke diri sendiri atau orang lain. Abdul menjelaskan
dengan suara pelan, gue gak paham dia lagi ngomong apaan.
Teng… teng… teng… tong… teng… backsound piano terdengar adem dari speaker, membuat suasana aula
menjadi hening, tenang, ditambah gejolak di dada yang semakin meluap. Gue
dikagetkan dengan suara macam orang teriak “BAYANGKAN…” suara tegas dari Pak
Aldes memecah keheningan. Teng… teng… dengan musik yang masih bermain, lalu Pak
Aldes bilang “BAYANGKAN ADA BENDERA KUNING DIRUMAH KALIAN.” Kemudian Pak Aldes
menarik nafas panjang. “BAYANGKAN JIKA ORANG TUA KALIAN TELAH TIADA, KALIAN
TIDAK SEMPAT MEMINTA MAAF KEPADA MEREKA” katanya berapi-api. Dengan mata yang
masih tertunduk, gue mendengar orang yang menahan tangis. Lagu memainkan Bunda dari Melly Goeslaw. Begitu bagian
reff, Kata mereka diriku selalu dimanja…
“MAMAH…” Kata seorang lelaki dengan nada parau disana. Gue
mengintip sedikit mencari sumber suara, sama aja, semua tetap gelap.
Abdul sesak mencoba mengatur nafasnya karena menahan tangis.
Ilham tampak diam saja tidak ada suara sedikit pun. Gue tidak merasakan
apa-apa, terlintas dalam kepala gue bayangan nyokap ketika saat itu sedang
menasihati gue dengan nada pelan setelah dia dipanggil oleh wali kelas SD gue.
Pak Aldes kembali berapi-api “BAYANGKAN DIRI KALIAN KELAK
DEWASA MENCAPAI CITA-CITA KALIAN” ada jeda sebentar, gue mengintip dia menyedot
sebuah aqua gelas lalu dia letakkan kembali diatas meja. “SEKARANG BISIKKAN
CITA-CITA KALIAN KE TEMAN SEBELAH KALIAN” Pak Aldes melanjutkan kalimat. Mampus
gue belom tau mau jadi apaan, gak mungkin gue bilang ‘Pengen ngerti apa itu sat set sat set’. Gak mungkin juga gue
bisikkin ‘Ilham semoga gue gantengan dikit biar Almira jadi naksir’. Telinga gue mendadak geli kaya ada
angin, ternyata dari mulutnya si Abdul yang samar-samar terhirup bau ayam
geprek tadi. “Urah… hayah… jadih...” nada Abdul yang masih parau. “Hah? Apaaa”
Gue gak nangkep, kemudian meminta dia untuk meninggikan suaranya. “Urang hayang
jadi pamaen bola” kata dia pelan.
“Bola apaan?” kata gue.
“Bola nya bola, bola sepak, ah gimana sih” Kata dia sewot.
Dari yang seharusnya mengharukan, situasi berubah menjadi
bodoh.
Beberapa kali Ilham menyenggol untuk segera kasih tau apa
cita-cita gue. “Iya bentar” kata gue pelan. Gue masih kebingungan mau bilang
apaan soal cita-cita, kepala gue dipenuhi oleh muka Almira dan sat set sat set. Untuk itu aja gue belum
nemu jawabannya, apalagi soal cita-cita. Akhirnya gue bilang kalau gue mau jadi
pembuat film, karena suka nonton film. Ilham berkata “Mantap” terus melanjutkan
ke orang di sebelahnya.
Selang beberapa menit, lagu berhenti, kemudian lampu
dinyalakan. Gue memandangi sekeliling, beberapa ada yang mengucek matanya
karena silau, ada yang menutup mukanya pake tangan mungkin masih sedih, ada
yang sedang menyeka air matanya, ada yang nguap ngantuk, ada yang diem aja. Gue
termasuk orang yang diem aja. Almira mengalahkan bayangan kesedihan gue.
Sebelum pergi ke masjid untuk tidur, agenda terakhir adalah watching stars di lapangan jadi kami
diam selama 30 menitan untuk liat bintang-bintang, yang sebenarnya sudah gue
lakukan dari tadi. Gue telah memutuskan untuk mengajak bicara Almira setelah
ini. Agenda yang tepat buat gue untuk mencari inspirasi sambil tiduran melihat
langit malam. Untungnya langit tidak sedang mendung, bintang terlihat cukup
jelas di atas sana. Gue yang lagi terlentang menengok ke arah Abdul yang lagi
sama terlentang di sajadah. Matanya tampak dalam melihat langit, seperti ada
yang sedang ia pikirkan. Karena tidak ingin menganggu gue menengok ke Ilham
duduk meregangkan kaki sambil melihat sekitar lapangan. Gue juga jadi ikutan
melihat siswa-siswa lain tiduran, ada yang ngobrol sambil nunjuk-nunjuk langit, ada yang
duduk jongkok badannya ditutupi sarung.
Gue kembali menatap bintang. Diam, memikirkan kembali apa
yang sebaiknya gue ucapkan. Merasa tidak menemukan pencerahan, gue membuka
percakapan. “Kalau suka sama orang, biasanya ngomong apa?”
Ilham jadi ikutan tiduran. “Jujur weh, apa adanya.” Kata
Ilham sambil meletakkan kedua tangannya dibawah kepala.
“Heem jujur Ram” Kata Abdul.
“Iya, jujur, ya” Kata Gue.
Dibawah langit yang sama dengan Almira gue membenarkan apa
yang Ilham katakan, jujur apa adanya. Gue tau apa yang akan gue lakukan, dengan mengajak dia berkenalan “Hai, Almira
mungkin kamu udah tau namaku di kelas. Aku bisa kenal gak sama kamu?” dengan
muka ganteng sebaik yang gue bisa, lalu minta nomer hapenya, sharing tentang
gue bagaimana orangnya, apa yang membuat gue pengin kenal dengan dia, selera
humor gue seperti apa, dan apa yang tidak gue suka. Dengan harapan dia juga
sebaliknya. Berhasil atau tidak itu urusan lain. Semoga rasa suka gue pengin
kenal sama dia mengalahkan kegugupan gue selama ini terhadap orang lain.
Waktu untuk melihat bintang sebentar lagi berakhir, semua
boleh merapihkan diri dan pergi ke masjid. Gue segera berdiri, mencari
keberadaan Almira dimana. Memperhatikan satu per satu orang dari minimnya cahaya
dan membuat gue kesusahan. Ditambah semakin banyak orang berdiri dan perlahan
berjalan meninggalkan lapangan. Setelah bilang gue ada perlu ke Abdul dan
Ilham, gue segera pergi berjalan cepat mencari dimana dia ketika ramainya orang
berlalu lalang.
Memasuki lorong gue berjalan cepat mendahului satu persatu
orang, sembari memperhatikan dengan baik baju hijau tosca dengan luaran
kremnya. Dari ujung lorong dibawah lampu putih cukup jelas melihat dari
kejauhan ada Raisa disana memakai kerudung berwarna putih. Ini pertama kalinya
gue lihat dia memakai kerudung. Dia tampaknya tidak sedang berjalan, malahan
diam bersandar ditembok.
Melewati orang-orang mencari celah agar gue bisa menerobos
masuk untuk sampai ketempat Raisa berdiri. Setelah belok kanan-belok kiri,
diomelin orang karena rusuh, orang terakhir berhasil gue lewati. Kemudian “Sa…”
kata gue sambil ngos-ngosan.
Raisa menengok “Eh Ram, kenapa lu, abis marathon? Katanya
sambil merubah posisi berdirinya bersandar ditembok jadi menghadap gue.
Gue menyandarkan punggung , mengatur napas. Bagi orang yang
jarang olahraga berjalan melewati sebegitu banyaknya orang udah membuat gue
dehidrasi butuh minum empat Aqua galon. “Almira mana?” Kata gue dengan nafas
tidak beraturan.
“Nih, gue lagi nungguin dia” Kata Raisa, tangannya menunjuk
ke sebuah pintu bertuliskan ‘Kamar Mandi Perempuan’
Gue menengok ke arah tangan Raisa, terdapat lorong kecil
dengan tembok bolong-bolong yang membentuk sebuah pola cukup jauh dari tempat dia
berdiri. “Pintunya mana?” kata gue.
“Ada di dalem pokonya. Kenapa?” tak lama dia mengangkat
alisnya “Oh, soal itu ya, tenang gue
belom bilang kok.”
“Baguslah, gue pengin bilang kalau gue pengin kenalan.” Kata
gue.
Terdengar suara pintu terbuka.
“Keren…keren” lalu, tatapannya berubah ke atas. “Eh, tapi
Ram kemarin-“
“Raisa, maaf ya lama” Kata Almira yang baru saja keluar dari
kamar mandi.
Almira yang sedang mencoba merapihkan kembali kerudungnya
terkejut dengan kehadirannya gue. Raisa dan gue kemudian lihat-lihatan, gue
sadar obrolan kami terpotong, tapi ini saatnya.
Gue memberikan gestur tangan kepada Raisa agar dia tunggu
disitu. Gue berjalan perlahan menghampirinya. Mencoba memasang muka ganteng
sekeras yang gue bisa, walaupun sudah tidak tertolong lagi dan hasilnya pun
akan sama aja. Terlihat dia menarik nafasnya lalu wajahnya nampak tegang
melihat gue berjalan kearahnya. Hati gue mengatakan kalau dia sedang berfikiran
Wah, pangeranku telah datang untuk
menjemputku menaiki kereta kudanya. Pasti akan terlihat sangat gagah. Tapi
disisi lain, mungkin juga yang sebenernya Almira pikirkan adalah Wah, pembantuku datang untuk membersihkan
kamar mandi sekolahku. Pasti gue langsung otomatis bawa sikat WC. Gue
menengok ke sekitar, sisa beberapa orang yang masih berjalan melewati lorong,
berharap tidak ada yang mengganggu. Semakin dekat, tiba-tiba langkah kaki gue
jadi kaku, gue bingung harus kanan atau kiri dulu, malah kaya robot abis batre.
Kaki kanan gue mencapai ke langkah terakhir. Ahirnya satu langkah terakhir
telah gue lewati. Matanya tampak berkilau dibawah lampu putih terang, hidungnya
lebih mancung dari yang gue kira, terlihat jelas liptint yang dia pakai di bibir tipisnya. Kini gue tepat ada
didepannya
Keberanian yang tidak sempat gue kumpulkan. “A-a-almi-ra”
Kata gue jadi gagap. “A-a-aku m-mau ngo-ngo-ngomong.” Kenapa jadi makin kaya
robot dari masa depan.
Almira senyum tipis. “Iyaa, boleh”
Gue yang lagi terpukau sama senyumnya mendadak mulut gue
berulang kali mangap tidak bisa mengeluarkan kata. “Ayolah hati dan mulut kali
ini aja kalian akur” kata gue dalam hati. Alisnya terangkat sedikit, matanya
menyorot tajam, menunggu apa yang akan gue katakan. Ada jeda sebentar diantara
kami, ada sedikit tetesan keringat dari dahi gue. Gue melihat ke Raisa, lalu
dia menyemangati gue dengan memberikan kedua jempollnya. Gue menghela napas,
kembali berkonsentrasi.
Gue tatap matanya dalam-dalam, senyumnya yang semakin lebar
tidak sabar menunggu apa yang akan gue katakan. Badannya bergerak maju, gue
juga melakukan hal yang sama, jarak kami jadi sekitar tiga buah ubin. “Jadi,
aku… pengin-“
“Kamu suka gak sama aku?” Tanya dia memotong kalimat gue.
“Hah?” kata gue.
Jantung untuk sepersekian detik seperti berhenti berdetak.
Tidak percaya dengan apa yang gue dengar. Kenapa jadi gue yang ditodong.
Skenario yang gue harapkan adalah kita kenalan, terus gue dapet nomer
handphonenya, terus kita ngobrol-ngobrol, terus kita jadi tau background masing-masing gimana, dengan
harapan kita terima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Iya, kamu suka gak sama aku?” Kata Almira mengulang
pertanyaan yang sama.
Bingung harus merespon apaan, gue gak pernah sekalipun ada
kejadian ini dalam hidup. Secepat ini? pikir gue. Apa jawaban yang tepat ketika
situasi seperti ini? Gue iyakan? Kalau sebenernya dia nanya doang tanpa maksud
apa-apa atau dia suka sama gue karena mengharapkan hal lain gimana? Gue jawab
tidak? Kalau gue nanti menyesali itu, terus melewatkan momen ini gimana?
Keringet makin banyak menetes sampai bisa gue rasakan bagian belakang kaus gue
basah.
Gue shock setengah mencret. Akhirnya gue jawab “Euh, engga.”
Kemudian dia pergi menghampiri Raisa “Tuh kan kata aku juga
engga.” Kata Almira. Raisa tampak bingung. Almira menarik tangan Raisa lalu
pergi menjauh.
Di depan kamar mandi perempuan, gue memandangi sekitar sudah
tidak ada orang. Gue memperhatikan punggungnya perlahan dan perlahan pergi.
Otak gue masih loading dengan apa yang
terjadi barusan. Ini akan menjadi malam yang panjang.
Gue berjalan lemas menuju masjid. Lampu tidak semuanya
dinyalakan, gue melihat samar-samar bayangan orang sedang berkumpul di tangga.
Entah lagi main kartu atau sekedar mengobrol, gue tidak peduli. Apa yang
dikatakan Kang Agan saat di GOR terlintas dari kepala gue. “Pokonya tinggal sat
set sat set jadian deh” Ucap gue dalam hati. Kalimat itu terus terngiang di
kepala gue. Sat set sat set. Kepala gue terus mengulang kembali kata-kata itu.
Sat set sat set.
Apa itu yang namanya sat set sat set? Seperti yang dilakukan
Almira tadi? Langusng to the point
mengarahkan kita ke suka atau tIdak. Tidak perlu basa-basi. Katakan
dengan jelas maunya kita dari awal. Jatuh hati pada pandangan pertama, dengan
cepat segera mengungkapkan perasaan itu tanpa pikir panjang, tanpa rencana,
tanpa pandangan yang jelas. Jika memang benar, bagi gue sat set sat set terdengar sederhana, cepat, dan buru-buru.
Sekolah tampak sudah terlihat tidak ada orang. Gue melihat
banyak sepatu berserakan dimana-mana tepat di bawah batas suci. Gue duduk dekat
masjid bersama tiga orang laki-laki yang terlihat lagi membuka sepatu mereka.
Baru gue sadari tali sepatu kanan gue lepas dari ikatannya. Gue melonggarkan
kedua sepatu. Setelah kaus kaki gue masukkan ke bagian dalam sepatu, lalu gue
simpan sejajar dengan sepatu lainnya. Rintikan air secara bergantian terdengar.
Gue tidak sengaja memutar kran air sampai full, membuat baju gue sedikit basah
karna dorongan airnya terlalu keras. Setelah cuci muka, gue merasakan sensasi
dingin, dingin, sangat dingin.
Gue tau mungkin gue sudah melakukan kesalahan atau mungkin
gue juga sebenarnya benar. Seperti biasa banyak pikiran yang melintas dari
kepala gue. Setelah keset untuk mengeringkan kaki, kemudian membuka pintu masjid, kami semua dipersilahkan
untuk tidur. Tempat perempuan tidur ada di kelas lantai dua yang telah diatur.
Gue membalas singkat ‘Dari WC’ ketika Abdul menanyakan gue
dari mana saja. Abdul dan Ilham menyisakan lahan untuk gue tidur di sampingya.
Beralaskan sajadah masjid lalu diselimuti oleh sarung. Ilham telah berganti
pakaian ketika dia salat Isya, dengan memakai celana training dan juga kaus lengan panjang. Abdul memakai celana training dan sweater polos berwarna abu
misty yang baru saja ia keluarkan dari dalam tas. Malam itu gue tidak mengganti
pakaian gue, walaupun sebenernya tersimpan di dalam tas. Masih memakai baju
muslim, luaran jaket hitam, dan celana jeans, sama seperti tadi, hanya rasanya
sekarang tidak enak berlumuran keringat, tapi memilih untuk tidak berganti.
Ilham menanyakan gue kenapa tidak ganti baju, gue hanya menjawab “enggak,
langsung tidur aja.” Kemudian, lampu dimatikan.
Gue memposisikan tas sebagai bantal. Gue tidak menyangka,
kalau beberapa orang sudah tertidur pulas, bahkan Pak Aldes sudah mengorok,
rasanya ingin gue sumpelin kaos kaki ke dalam mulutnya. Ilham sedang mencoba
untuk tidur, sepertinya dia terganggu dengan suara ngoroknya Pak Aldes. Abdul
yang berada di tengah antara kami bertiga sedang sibuk chatting dengan seseorang. Gue merebahkan badan, mencari posisi
yang nyaman untuk gue bisa tidur.
Bukan suara dari Pak Aldes yang membuat gue terganggu tapi
‘kejadian tadi’ membuat gue jadi tidak mengantuk. Gue tidak bisa tidur. Gue
menyilangkan tangan. Melihat langit-langit masjid yang tidak terlalu gelap,
masih ada pantulan sinar bulan yang sedikit menyinari dari arah jendela. Jika
gue bilang “Iya” kira-kira apa yang akan terjadi? Pikiran gue mengawang membawa
gue ke skenario palsu jika gue mengiyakan sepertinya akan canggung menghadapi
semuanya, melihat gue yang sekarang perlu waktu cukup lama untuk adaptasi
dengan seseorang. Gue cukup menyayangkan, mungkin jika itu terjadi, kita akan kenal
satu sama lain seiring berjalannya waktu. Tapi melihat dia sepertinya orang
yang buru-buru dibanding gue yang santai akan membuat gue ikut terburu-buru
sampai akhirnya ada yang terlewat.
“Ah, sudahlah” gumam gue. Semuanya udah kejadian ini.
Setelah gue pikir-pikir, gue mengartikan sat
set sat set adalah suatu hal yang harus dilakukan segera. Tidak ada yang
salah dengan sat set sat set. Tidak
ada yang salah dengan cepat mengungkapkan perasaan ke orang lain. Tapi tidak
ada yang salah juga dengan memberi sedikit jeda sebelum mengungkapkan perasaan
kita ke orang lain. Cara pandang semua orang terhadap jatuh hati berbeda-beda
dan berbagai macam bentuk, berbagai macam suara, berbagai macam rasa. Semakin
terangnya sinar bulan, semakin terlelap orang dari tidurnya. Mata gue kemudian
menjadi berat, pikiran seketika kosong. Gue menghela nafas panjang, lalu hati
dan mulut saling bekerja sama untuk mengucapkan satu kalimat yang sama. Tidak
ada yang salah dengan gue, Almira, ataupun kita.
Komentar