PEOPLE COME & GO, JUST RELAX!
December, 22 2022
“Dulu temen gue banyak ada di mana-mana. Sekarang gue
ngerasa temen gue ngejauh” kata Sifa di sebuah café bertemakan industrial dengan
gue yang duduk di depannya. Matanya sudah sembab, tangannya masih mengetik
untuk tugas sejarah yang telat dia kerjakan. Gue hanya bisa melihat laptopnya,
kalimat demi kalimat tentang asas pembangunan nasional sambil sesekali mengaduk
frappe vanilla.
Gue diminta untuk bantuin tugasnya dia, setelah dia tertimpa
masalah yang membuat matanya menjadi sembab akibat terus-terusan menangis.
Katanya dia cukup kaget ketika gue mengiyakan ajakannya dia untuk bertemu di
café sore hari itu, karena katanya hanya gue yang masih membalas whatsapp-nya
dia. Gue bales karena, kenapa tidak? Gue tidak peduli sama masalahnya, bahkan
gue tidak perlu tau siapa pelakunya. Berhubung gue cukup doyan ngobrol, makanya
gue iyakan.
Gue tau dia tidak hanya ingin membicarakan soal tugasnya
tetapi juga masalah teman-temannya yang pada ngejauh. Gue memberikan penawaran
“Kalau lu gamau cerita, gapapa” tapi karna dia ingin cerita, maka gue
persilahkan. Setelah sekitar 10 menit dia cerita, intinya adalah dia kena
masalah pelecehan. Seperti biasa, gue bersikap netral, tidak memihak kanan
ataupun kiri. Yang gue dengar, baru dari perspektif si Sifa yang belum tentu
benar ataupun salah. Jadi mengambil kesimpulan juga tidak terlalu berguna buat
gue, dan ngapain? Fokus gue sekarang bukan ke sana soalnya.
Yeup, masalah tersebut bukan masalah sepele, ini menjadikan
ada dua sisi sudut pandang yang keduanya punya potensi benar. Seperti pada
sebuah forum seminar tentang kekerasan seksual waktu gue awal semester satu.
Hal utama yang perlu dilakukan adalah fokus kepada ‘korban’. Gue mendengarkan
dengan seksama soal temannya yang menjauh. Entah dia memang merasa begitu atau
dia yang ingin menjauh. Tapi itu tidak penting, fokus gue adalah Sifa merasa
sendirian. Gue pernah merasa ada di posisi itu, ketika gue mengalami itu,
gue berpikir kalau keknya iya deh, temen-temen gue pada kemana ya?
Gue punya solusi yang
works buat gue. Solusinya adalah perlu disadari kalau people come and go,
siapapun itu. Contohnya adalah teman-teman waktu SD, hanya sekian persen orang
yang masih kontekan di whatsapp, padahal dulu deket banget dan sekarang denger
kabarnya aja engga. Terus yang waktu itu
gue lakukan adalah sebisa mungkin tidak bergantung pada orang lain. Biasanya
ketika terlalu sering minta bantuan teman, walaupun teman itu secara sukarela
mau bantuin tapi pas temen lu gada, lu kebingungan. Jadi, bukan hal yang salah
minta bantuan temen, tapi skill buat mandiri juga sangat bisa dipertimbangin.
Mungkin orang yang dari kecil udah dikelilingin ama orang
banyak, bakalan kaget pas tau kalau suatu saat bisa sendirian. Tapi, bagi orang
yang suka sendiri, ini ga jadi masalah. “Oh, yaudah”, gue masih bisa masang gas
LPG sendiri kok, walaupun sebelumnya sempet atap rumah bolong akibat kebakaran.
Orang yang suka sendiri juga masih perlu orang lain. Bukan
berarti mereka yang sendirian perlu diludahin dan dinajisin rame-rame. Tapi kek
apa ya? Ada saat dimana lu pengen sendiri, ada saat pengen bareng temen.
Jadi, menurut gue temen yang ngejauh itu mungkin hanya
perasaan doang. Tapi, kalaupun memang benar mereka ngejauh, ya yaudah. Karena
gue masih bisa ngangkat galon sendiri, walaupun sebelumnya kebanjiran. Awalnya
mungkin kaget, tapi lama kelamaan bukan jadi masalah lagi. Yang terpenting
adalah gak masalah ada mereka atau
tidak, tapi kalau mereka butuh kita ada.
Komentar